Sabtu, 07 Maret 2009

MASYARAKAT DAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM

A. PENDAHULUAN

Manusia sejak lahir telah bergaul dengan manusia lain di dalam wadah yang bernama masyarakat. Itulah sebabnya kemudian manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Semakin meningkat usianya, manusia semakin tahu bahwa dirinya tidak dapat berbuat sekehendak hatinya. Hal ini karena kehidupan di dalam masyarakat berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian besar masyarakat dipatuhi dan ditaati sebagai pegangan. Hubungan-hubungan antarmanusia serta antara manusia dengan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai dan kaidah sehingga perilakunya semakin lama semakin melembaga dalam pola tertentu (Soekanto, 2004: 1).

Hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hubungan antar warga masyarakat sebagian besar diatur oleh akidah hukum, baik yang tersusun secara sitematis dan dibukukan atau kaidah-kaidah yang masih tersebar serta pola-pola perikelakuan yang dikualifikasi sebagai hukum. Hukum secara sosiologis, dalam pandangan Soekanto (2004: 4) adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.

Hukum di masyarakat ada yang terhimpun dalam suatu sistem yang disusun secara sengaja sesuai dengan pembidangannya. Di Indonesia misalnya, hukum yang mengatur perdagangan terhimpun dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang, begitu pula hukum yang mengatur segala kegiatan agraris dalam masyarakat telah terhimpun dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Sistem hukum tersebut biasanya mencakup hukum substantif dan hukum ajektif yang mengatur hubungan antarmanusia, antara kelompok manusia, dan hubungan manusia dengan kelompoknya.

Pola hubungan manusia dan hukum menjadi obyek kajian yang tak pernah habis dalam sosiologi hukum. Sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses. Dalam hal ini, ahli sosiologi menaruh perhatian besar kepada hukum yang bertujuan untuk mengkoordinasikan aktifitas warga masyarakat serta memelihara integrasinya. Di sinilah kemudian, pikiran Durkheim tentang masyarakat dan hukum menemukan relevansinya dalam pembahasan ini.

Tulisan ini mengulas seputar masyarakat dan hukum yang lebih menekankan kepada pikiran Durkheim. Pada bagian awal akan dipaparkan definisi masyarakat dan hukum. Selanjutnya, pikiran Durkheim tentang masyarakat dan hukum akan diuraikan apa adanya sebagaimana disampaikan Turkel (t.th.: 26-33) dalam bukunya, Law and Society, Critical Approaches. Terakhir, pikiran tersebut akan digunakan untuk memotret masyarakat Indonesia saat ini. Sedikit catatan di sini bahwa istilah masyarakat didahulukan daripada hukum dengan alasan mengikuti logika Durkheim—salah satu tokoh Sosiologi yang tentu cenderung menggunakan kerangka pikir sosiologis dalam setiap langkah ilmiahnya—yang berargumen bahwa tipe masyarakat adalah penyebab pemilihan tipe hukum dan bukan sebaliknya.

B. PEMBAHASAN

1. Definisi Masyarakat dan Hukum

Masyarakat atau “society” dalam kamus Sosiologi karya David Jary dan Julia Jary (1991: 467) dimaknai sebagai totalitas dari hubungan manusia (the totality of human relationship). Secara lebih lengkap Jary mendefinisikannya sebagai sekelompok manusia yang berkuasa atas diri mereka, memiliki wilayah tertentu, memiliki budaya dan lembaga yang unik, seperti kelompok manusia Badui atau sebuah negara yang kokoh semisal Indonesia.[1] Adapun Soejono (1977: 24) sambil mengutip Anderson dan Parker, mengartikan masyarakat sebagai hidup bersama antar manusia yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu a) adanya sejumlah orang-orang, b) tinggal di suatu daerah, c) mengadakan hubungan satu dengan lain secara tetap dan teratur, d) memiliki sistem hubungan antara manusia, e) terikat karena memiliki kepentingan bersama, f) bekerja sama, g) mengadakan ikatan, h) mempunyai solidaritas atau perasaan berbagai rasa, i) sadar akan saling bergantung, j) membentuk norma-norma, dan k) membentuk budaya.

Adapun hukum memiliki definisi yang banyak dan belum ada kata sepakat dari para ahli hingga kini. Namun, setidaknya hukum dapat diartikan sebagai sistem peraturan dan sanksi, institusi para ahli, atau para ahli itu sendiri[2] (Jary and Jary, 1991: 477).

Diakui bahwa definisi-definisi di atas diambil dari buku-buku yang lahir belakangan. Hal ini bukan berarti dimaksudkan untuk mengaburkan makna masyarakat dan hukum sesuai dengan konteks di mana pikiran Durkheim lahir. Akan tetapi, makna masyarakat dan hukum nampaknya tidak mengalami perbedaan yang signifikan antara masyarakat yang dipahami Durkheim dengan pemahaman kontemporer seperti tercermin dalam bukunya, the Division of Labour in Society. Dengan demikian, pikiran Durkheim masih relevan dan dapat digunakan untuk membidik situasi masyarakat saat ini dengan beberapa modifikasi.

2. Pikiran Durkheim tentang Masyarakat dan Hukum

a. Sekilas Biografi Durkheim

Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, pada tanggal 15 April 1858 (Ritzer dan Goodman, 2004: 24). Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh. Ayah dan kakeknya adalah Rabi (pendeta Yahudi) namun kehidupan Durkheim sendiri cenderung sekular.

Pendidikan formal Durkheim antara lain adalah École Normale Supérieure (ENS) yang ia masuki pada 1879. Banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson, menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis di kemudian hari. Di ENS, Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya (www.wikipedia.com).

Ketertarikan Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh faktor politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Sebagian orang menganggap pendekatan Katolik dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang melemah di kawasan Eropa. Durkheim sebagai bagian dari komunitas Yahudi dan aktifis sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Sikapnya sebagai seorang aktivis antara lain dipengaruhi oleh Peristiwa Dreyfus yang terjadi pada 1894 (www.wikipedia.com).

Berdasarkan sejumlah buah penanya, Parson menilai bahwa Durkheim dapat dikatakan sebagai salah satu dari dua pendiri utama Sosiologi modern selain Max Weber. Di dalam empat karya utamanya yang diawali dengan the Division of Labour in Society[3] (1893) dan diakhiri dengan the Elementary Forms of Religious Life[4] (1912), ia membangun suatu kerangka yang luas untuk menganalisis sistem sosial yang tetap merupakan bidang sentral Sosiologi (Parson dalam Durkheim, 1991: xliv). Namun, di bidang hukum, Turkel berani menjulukinya sebagai pionir dalam studi hukum dan masyarakat, yang kemudian dikenal dengan Sosiologi Hukum (t.th: 26).[5]

Hasratnya terhadap ilmu semakin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku di antaranya adalah tentang pengalamannya selama tinggal di Jerman. Penerbitan bukunya itu membantunya untuk mendapatkan jabatan di jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887 (Ritzer dan Douglas, 2004: 24).

Tahun-tahun berikutnya ditandai dengan serentatan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan disertasinya yang berjudul the Division of Labor in Society dalam bahasa Prancis dan tesisnya tentang Mostesquieu dalam bahasa Latin. Buku metodologi utamanya, the Rules of Sociological Method[6] terbit tahun 1895, kemudian disusul oleh bukunya Suicide[7] tahun 1897. Sekitar tahun 1896, ia menjadi profesor penuh di universitas Bordeaux. Kemudian, tahun 1902 ia mendapatkan kehormatan mengajar di Sorbonne. Tahun 1906 ia menjadi profesor Ilmu Pendidikan yang kemudian diubah menjadi profesor Ilmu Pendidikan dan Sosiologi pada tahun 1913. Buku terakhirnya yang sangat terkenal the Elementary Forms of Religius Life terbit tahun 1912 (Ritzer dan Douglas, 2004: 24).

Di usianya yang ke-59, Durkheim meninggal pada tanggal 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis masyhur. Tetapi, karya Durkheim mulai mempengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun kemudian setelah kematiannya, seiring terbitnya the Structure of Sosial Action (1973) karya Talcott Parsons (Ritzer dan Douglas, 2004: 25).

b. Masyarakat, Solidaritas, dan Hukum

Dalam rangka menjelaskan sebab-sebab perkembangan hukum, pembahasan seputar tipe-tipe masyarakat dan teori-teori yang menjelaskan proses yang menentukan suatu masyarakat memilih tipe tersebut dan bagaimana mereka menjalin hubungan satu sama lain nampak sekali urgensinya. Masyarakat bagi Durkheim adalah pijakan awal bagi lahirnya sebuah hukum. Untuk selanjutnya, pada bagian ini akan banyak diungkap pikiran Durkheim melalui tulisan Turkel seputar hubungan masyarakat dan hukum.

Dalam pandangan Durkheim, demikian Turkel memulai, hukum dan masyarakat dapat dipahami sebagai sebuah proses perkembangan dari bentuk sederhana menuju bentuk yang kompleks. Seiring berubahnya masyarakat dari bentuk organisasi yang simpel menuju bentuk yang kompleks, hukum pun berubah menjadi kompleks dan luas. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, hubungan ekonomi dan pasar semakin banyak dan melibatkan banyak orang. Teknologi semakin berkembang dan berubah dengan cepat, pekerjaan manusia semakin spesifik, dan anggota masyarakat semakin individual. Hukum pun menjadi tersebar luas dan secara institusional menjadi regulator khusus bagi interaksi sosial. Hukum berkembang melebihi sanksi kriminal yang represif bagi pelanggaran keyakinan moral[8] agar dapat menyelesaikan masalah yang lebih banyak variannya serta tidak terlalu banyak melibatkan emosi (Turkel, t.th.: 28).

Kita dapat melihat apa yang terjadi di Cina pada tahun 1970-an. Pada tahun tersebut, Cina melakukan modernisasi ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan industri. Pada Desember 1978, pleno ketiga dari Komite Sentral kesebelas Partai Komunis Cina (the Eleventh Central Committee of the Chinese Communist Party), partai utama di Cina, memulai proses reformasi agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Para pemimpin mereka mengutamakan pengembangan pasar ekonomi daripada strukturisasi produksi dan distribusi barang. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan pasar bagi produk pertanian, mendorong kepemilikan bisnis di kota-kota, dan membawa sistem harga yang sesuai dengan bunyi kontrak dan minat pasar.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, lebih dari 3.000 hukum muncul atau dirubah sejak tahun 1979 sampai 1989. Hukum yang mengatur kontrak, barang-barang pribadi, pajak, akuntansi, hak paten, investasi asing, dan aneka isu kegiatan ekonomi bermunculan. Seiring dengan hubungan ekonomi yang lebih kompleks dan ekspansi hukumnya, profesi hukum menjadi lebih berkembang. Pada tahun 1982, terdapat 10.000 orang ahli di bidang hukum di Cina, lalu pada pertengahan tahun 1985, terdapat 14.300 mahasiswa yang mendaftar di 35 institut dan fakultas hukum. Selain itu, lebih dari 3.000 kantor advokat didirikan dan menjelang tahun 1988, terdapat 27.000 orang yang berprofesi pengacara (Turkel, t.th.: 29).

Perubahan di Cina menunjukkan kompleksitas ekonomi yang kian tinggi berjalan seiring dengan kompleksitas hukum yang lebih variatif pula. Namun menanggapi hal ini Durkheim lebih menekankan kepada hubungan organisasi sosial (social organization) daripada organisasi hukum. Untuk memperoleh penjelasan lebih lengkap, Durkheim kemudian menganalisis perbedaan organisasi sosial yang menjadi penyebab perbedaan tipe hukum di masyarakat yang dijembatani oleh solidaritas sosial (social solidarity) (Turkel, t.th.: 29).

Kalimat solidaritas sosial diartikan sebagai harapan tertentu (expectation) dan terus-menerus yang diciptakan masyarakat secara bersama.[9] Harapan yang dimiliki secara merata ini dapat menyebabkan masyarakat menikmati dunia mereka tanpa ragu. Mereka dapat berinteraksi secara normal dalam kehidupan yang stabil. Sebagai contoh, setiap pukul 07.00 pagi, seorang ibu biasa menyiapkan semangkok bubur sereal untuk sarapan bersama anak perempuan yang masih berumur 2 tahun. Mereka, mengeluarkan sereal dari kotaknya secara bersama-sama dan mengambil susu di kulkas. Bentuk interaksi ini telah berjalan berbulan-bulan dan telah menjadi salah satu bentuk harapan, atau seperti kebiasaan, bagi anak perempuan itu. Pada suatu saat, sang ibu kehabisan sereal atau susu sehingga anak perempuannya tadi kemudian bereaksi dengan tangisan yang memilukan nan penuh kemarahan. Harapan dia tentang dunia telah dirusak, dan dia merasa sedih (Turkel, t.th.: 29).

Harapan yang dibangun bersama yang menyebabkan solidaritas dalam masyarakat telah mengakar melalui bentuk asosiasi yang dimiliki secara kolektif dalam masyarakat. Dalam ranah rumah tangga atau hubungan dengan para sahabat dan rekan kerja, kita dapat mengembangkan rasa saling percaya, saling berbagi, dan saling bergantung. Kita menjadi saling membutuhkan bantuan, antara lain dalam hal menjaga rahasia dan bekerja sama (Turkel, t.th.: 29).

Bentuk asosiasi masyarakat yang berbeda menyebabkan solidaritas yang berbeda pula. Harapan kita kepada orang yang kita kenal berbeda dengan harapan kita kepada orang asing. Semakin lama jalinan hubungan kita, semakin kuat pula harapan yang kita cipta. Juga, semakin intim hubungan kita, semakin sakit rasa hati jika kita dikhianati. Ketika rahasia kita dibongkar oleh kawan dekat, kita akan kehilangan solidaritas yang sangat menyakitkan (Turkel, t.th.: 29).

Solidaritas pada level hubungan interpersonal juga dapat diaplikasikan kepada sebuah masyarakat. Di sebuah masyarakat tertentu harapan telah dibangun dari generasi ke generasi yang dapat menyebabkan masyarakat melakukan kehidupan harian yang stabil. Di sini, bentuk asosiasi yang berbeda diekspresikan melalui institusi dan norma khusus, termasuk norma dan institusi hukum. Hukum dapat menjaga bentuk asosiasi dan solidaritas sosial (Turkel, t.th.: 29).

Lebih jauh, Durkheim membuat dua bentuk dasar solidaritas masyarakat: mekanik dan organik. Secara singkat, hubungan bentuk organisasi sosial, solidaritas sosial, dan hukum yang timbul dapat dicermati dalam tabel berikut.

No

Organisasi Sosial

Solidaritas

Hukum

1

Masyarakat Sederhana

Solidaritas Mekanik

Hukum Represif

2

Masyarakat Kompleks

Solidaritas Organik

Hukum Restitutif

Solidaritas mekanik (mechanical solidarity) menjadi karakter masyarakat sederhana. Masyarakat ini jumlahnya masih relatif kecil, teknologinya juga masih sederhana, seperti peralatan yang menggunakan tangan dan pembagian kerja yang ramping. Interaksinya lebih banyak didominasi dengan tatap muka dan diikuti dengan berbagi keyakinan agama. Hubungan sosial dalam tipe ini dibentuk oleh keyakinan terhadap peninggalan budaya leluhur. Orang menganggap diri mereka sebagai bagian dari keluarga besar yang saling bergantung satu sama lain dalam proses tumbuh dan mempertahankan hidup. Mereka berbagi dalam pengalaman hidup masa lalu dan menganggap mereka memiliki nasib yang sama (Turkel, t.th.: 30).

Solidaritas sosial bersandar pada bentuk asosiasi dan harapan yang membuat seseorang menyerupai sesamanya. Karena mereka secara terus-menerus saling bertemu muka dalam interaksi yang sederhana dengan menggunakan peralatan yang sama pula, mereka dapat membangun keyakinan yang sama tentang nenek moyang dan nasib. Dalam berinteraksi, mereka menganggap diri mereka sebagai anggota masyarakat satu keluarga ketimbang individu yang terpisah yang ingin mengejar tujuan personalnya (Turkel, t.th.: 30).

Dalam masyarakat sederhana, pengalaman hidup harian bersama dapat meyakinkan pandangan umum mereka tentang dunia. Di sana terdapat konsensus tentang pandangan benar dan salah yang diterapkan tanpa banyak alasan. Pelanggaran terhadap moralitas konsensus umum cenderung menyakiti perasaan masyarakat secara keseluruhan dan menggugah emosi mereka. Hal yang sama sebenarnya juga dirasakan si pelanggar, karena ia sangat bergantung kepada masyarakat untuk identitas diri dan dukungan material (Turkel, t.th.: 30).

Karena bentuk organisasi sosial yang masih sederhana, solidaritas mekanik sering diungkapkan dalam bentuk hukum yang sangat moralistis. Hukum menggambarkan kemarahan komunal yang dimiliki masyarakat jika ada pelanggaran terhadap keyakinan dan harapan umum. Hukum dalam kondisi ini sangat mengekang. Seluruh masyarakat akan dikejutkan dan dibuat marah oleh suatu pelanggaran. Masyarakat akan dimobilisasi untuk menghukum pelakunya dalam rangka mempertahankan keyakinan bersama yang menjadi inti dari identitas mereka, baik secara komunal maupun individual (Turkel, t.th.: 30).

Hukum represif[10] sering melibatkan sanksi berupa hukuman fisik bagi pelakunya. Kekejaman hukuman bukan dimaksudkan untuk mendefinisikan hukum yang menunjukkan solidaritas mekanik, namun, hukuman ini memiliki arti bagi pelaku dan juga masyarakat. Partisipasi anggota masyarakat yang menekankan kepada sanksi untuk menegakkan hukuman menunjukkan identitas keyakinan umum yang didefinisikan dalam solidaritas mekanik (Turkel, t.th.: 30).

Selanjutnya solidaritas jenis kedua dalam pandangan Durkheim adalah solidaritas organik (organic solidarity) yang identik dengan bentuk organisasi masyarakat yang kompleks. Di sini, teknologi berubah dengan cepat dan mempengaruhi serangkaian bentuk kehidupan dan aktifitas. Selain itu, masyarakat cenderung berpenduduk banyak, pembagian kerja berubah cepat dan bertambah spesifik. Interaksi antar manusia cenderung lebih spesial dalam tujuan khusus. Sebagai contoh, orang yang ingin menghilangkan plak gigi akan pergi ke dokter gigi. Begitu pula jika akan membetulkan mobil, ia akan pergi ke ahli mekanik. Keyakinan melalui interaksi manusia difokuskan kepada kompetensi dalam aktifitas praktikal daripada keyakinan umum tentang leluhur, filosofi, politik atau agama. Sebagai contoh, ketika kita menyetir mobil di jalan tol, kita akan lebih perhatian kepada kompetensi sopir lain daripada berpikir tentang apakah keyakinan kita sama atau tidak dengan mereka (Turkel, t.th.: 31).

Masyarakat kompleks secara terus-menerus berinteraksi dengan dan tergantung pada kerja orang asing untuk keselamatan dan keberlangsungan hidup. Masyarakat diatur dengan cara yang dapat membuat mereka tergantung kepada orang lain yang tidak dikenal sebelumnya untuk pemenuhan kebutuhan makanan, pemeliharaan kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Hal ini mengharuskan seseorang untuk terlibat dalam tugas-tugas yang berbeda dan memiliki bentuk pengetahuan tertentu (Turkel, t.th.: 32).

Solidaritas organik mendorong perkembangan individualisme modern, yakni individu merdeka yang muncul sebagai perseorangan yang memiliki biografi, kebutuhan, dan ruang untuk menjalin hubungan dan aktifitas yang terpisah dari komunitas. Pada waktu yang bersamaan, individu semakin bebas, sehingga orientasi kompetitif semakin kuat. Akibatnya, banyak kesempatan munculnya ketegangan hubungan dengan orang lain. Namun, konflik ini lebih mudah ditoleransi dengan kondisi kompleksitas sosial karena tidak melibatkan seluruh anggota masyarakat. Lebih-lebih, solidaritas organik berkembang dengan bentuk yang dimotivasi oleh harmoni sosial. Setiap bagian masyarakat memberikan kontribusi untuk keberlangsungan hidup masyarakat secara menyeluruh. Pekerjaan yang berbeda-beda yang dilakukan oleh setiap orang dan identitas yang berbeda yang mereka miliki berfungsi untuk mengokohkan masyarakat secara bersama-sama. (Turkel, t.th.: 32)

Solidaritas organik berakar dalam hubungan yang kompleks. Hukum mencerminkan perbedaan-perbedaan ini dengan menjadi lebih kompleks dan luas, sebagaimana hubungan sosial yang diaturnya. Untuk mengintegrasikan pembagian kerja yang semakin berbeda dan spesifik, institusi hukum muncul dengan fungsi khusus untuk membuat dan melaksanakan hukum serta hukumannya. Lembaga pembuat hukum khusus, seperti lembaga legislatif, pun dibentuk. Pengadilan menjadi lembaga yang bebas dari institusi politik. Profesi hukum menjadi terorganisasi melalui pendidikan dan ikatan khusus (Turkel, t.th.: 32).

Dengan berkembangnya lembaga hukum yang terpisah dan spesifik, hubungan secara keseluruhan antara hukum dan masyarakat menjadi berubah. Daripada bentuk hukuman fisik sebagaimana hukum represif--yang menekankan kepada dominasi sentimen dan keyakinan kolektif atas individu dalam masyarakat sederhana dan solidaritas mekanik--kompleksitas masyarakat dan solidaritas organik berjalan seiring dengan berkembangnya hukum restitutif (Turkel, t.th.: 32).

Mari kita perhatian dengan pengalaman Turkel berikut ini. Ketika ibunya mencapai usia 80 tahun, keluarga Turkel memutuskan untuk merayakan di sebuah restoran mewah. Ia, istri, dan anak-anak mereka mengepak pakaian di dalam sebuah tas dan pergi ke rumah ibunya untuk menjemputnya. Dalam perjalanan, mereka berhenti di sebuah musium anak sehingga anak-anak dapat bermain dan dapat membakar energi mereka sehingga mereka dapat duduk nyaman saat makan malam nanti. Ketika mereka keluar dari musium dan kembali ke mobil, mereka terkejut saat melihat seluruh pakaian dan hadiah telah dicuri (Turkel, t.th.: 32).

Reaksi pertama Turkel dan keluarganya, meskipun marah dan kesal kepada pencuri, segera masuk mobil dan pergi ke supermarket untuk membeli baju dan hadiah baru. Ketika mereka selesai merayakan dan pulang, barulah mereka mengadu kepada polisi bahwa barang-barang mereka dicuri orang. Bukti laporan kepada polisi ini menjadi dokumen penting untuk proses klaim pada perusahaan asuransi Turkel agar ia mendapatkan kompensasi atas kehilangan barang. Turkel tidak memikirkan apakah si pencuri tertangkap. Baginya, hal yang paling penting adalah mereka dapat meneruskan pesta dan mendapatkan ganti rugi kehilangan barang mereka (Turkel, t.th.: 32-33).

Diyakini bahwa kehilangan mereka hanyalah hal kecil, tak seorangpun terlukai fisiknya. Tapi contoh ini menggambarkan peran penting hukum restitutif. Hukum restitutif meletakkan nilai tinggi atas individu dan menghindari perusakan atas aktifitas sosial yang sedang berjalan. Tidak seperti hukuman represif, hukum ini akan mengajari pelaku kejahatan untuk dapat kembali ke masyarakat dengan cara mendidik dan mereformasi mereka, juga ia diharuskan mengganti rugi korban kejahatannya atas semua kehilangan. Sebagai ganti dari ritual umum sebagai ekspresi kolektif atas moralitas melalui seremoni dan hukuman sebagaimana dilakukan dalam hukum represif, hukum restitutif lebih bertujuan untuk menjaga dan memelihara bentuk umum tatanan sosial. Hukum menjadi sebuah syarat hidup yang penting bagi manusia yang terpisah satu sama lain untuk melaksanakan kehidupan pribadinya. Peran hukum dalam menjaga tatanan sosial, perlindungan hak-hak khusus dan individu, dan penggantirugian atas hilangnya barang menjadi lebih bermakna daripada melaksanakan moralitas umum melalui jalur hukum. Hukum restitutif membangun kembali hubungan antara individu dan lembaga sehingga gangguan terhadap aktifitas yang sedang berlangsung dapat diminimalisasi (Turkel, t.th.: 33).

Di bawah masyarakat kompleks dan solidaritas organik, hukum tidak hanya lebih restitutif, tapi juga jumlahnya bertambah. Jumlah kode etik hukum, instrumen hukum, dan aksi hukum tumbuh subur sebab jumlah interaksi sosial, baik personal maupun kelompok semakin meningkat. Hukum pun menjadi sekompleks dan sekhusus hubungan individu dan lembaga yang diaturnya. Sebagai contoh, Undang-undang dan pengadilan untuk keadilan bagi anak remaja diatur khusus dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Begitu pula, pengadilan untuk perkara perceraian diatur khusus yang berbeda dengan pidana umum (Turkel, t.th.: 33).

Dengan kompleksitas masyarakat dan solidaritas organik, hukum menjadi lebih dari sekedar ekspresi kemarahan yang didasarkan kepada pelanggaran terhadap moralitas bersama. Namun, harus diakui, demikian kalimat Turkel (t.th.: 33) mengakhiri pembahasannya, bahwa beberapa aspek dari hukum represif masih muncul di dalam masyarakat yang kompleks. Hanya saja, seiring dengan jumlah dan spesifikasi hukum yang kian bertambah lambat laun akan mengurangi hukum yang bersifat represif dalam masyarakat.

3. Meneropong Masyarakat Indonesia dengan Teori Durkheim

Menyimak secara teliti pokok pikiran Durkheim di atas, nampaknya masyarakat Indonesia agak sulit untuk dikelompokkan ke salah satu golongan secara tegas, baik kelompok masyarakat simpel atau masyarakat kompleks. Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia berada dalam masa transisi di antara keduanya.[11] Alasannya, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat dalam tipe tertentu, akan tetapi merupakan sekumpulan masyarakat yang beraneka ragam sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” bangsa ini sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Contohnya, masyarakat Jawa pedalaman, mereka akan lebih pas dikatakan sebagai masyarakat sederhana yang memiliki solidaritas mekanik dan hukum represif. Mereka dalam tataran tertentu mengagungkan hukum adat atau kepercayaan nenek moyang ketimbang hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun masyarakat perkotaan, Jakarta sebagai misal, tentu akan mudah dikatakan sebagai masyarakat kompleks dengan solidaritas organik dan hukum restitutif yang nyata.[12]

Masyarakat sederhana memiliki kecenderungan untuk memakai hukum adat. Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia masih terkotak dalam budaya masyarakat homogen tertentu dan cukup kuat memegang hukum dan tradisi adat mereka.[13] Setelah kemerdekaan, dengan pembangunan yang cukup pesat dan intensitas interaksi antar personal dan bahkan antar negara meniscayakan adanya solidaritas organik dan hukum restitutif.

Masyarakat Indonesia secara umum dapat dikatakan sebagai masyarakat “menuju” kompleks yang membutuhkan hukum-hukum spesifik dengan jumlah cukup banyak untuk mengatur kehidupan baik pribadi, kelompok, maupun masyarakat luas. Munculnya pembidangan dalam Trias Politika: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif mencerminkan masyarakat kompleks yang meniscayakan pembagian kerja lebih khusus. Begitu juga banyaknya Undang-undang yang lahir menunjukkan betapa kehidupan ini membutuhkan aturan spesifik sehingga konflik antar manusia dalam masyarakat dapat diatasi dengan cepat. Meskipun begitu, Rahardjo (1984: 99) menegaskan bahwa hukum selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya. Hukum tidak akan dapat mengatasi seluruh permasalahan sosial sebab hukum selalu terlambat hadir ketimbang permasalahan masyarakat.

Selanjutnya, hal yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat yang kompleks dengan hukum restitutifnya akan lepas dari sifat hukum yang represif? Pertanyaan seperti ini sudah diantisipasi oleh Durkheim sebagaimana disampaikan Turkel (t.th. : 33) dengan mengatakan bahwa pada akhirnya hukum yang represif akan hilang dari hukum restitutif. Nampaknya Durkheim tidak memperhatikan bahwa dalam masyarakat kompleks sebenarnya banyak hal yang justru lebih bernuansa represif daripada hukum yang dimiliki masyarakat sederhana. Contohnya, dalam masyarakat sederhana akan sulit ditemukan kejahatan yang beraneka ragam karena kontrol sosial dan efek jera hukuman fisik cukup efektif. Dengan demikian, tekanan dalam bentuk ancaman penjara atau hukuman mati yang dialami masyarakat kompleks lebih berat. Secara sederhana, orang dalam masyarakat simpel akan tidak peduli dengan buang sampah sembarangan. Akan tetapi dalam masyarakat kompleks, buang sampah di sembarang tempat akan mengantarnya masuk penjara atau minimal dikenakan denda. Supremasi hukum (rule of law)[14] yang didengungkan terasa membatasi mereka untuk bergerak secara lebih leluasa.

Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa tekanan jiwa akibat menggunungnya aturan yang dialami masyarakat kompleks merupakan konsekuensi logis dari keinginan bersama untuk mengembalikan situasi kepada kondisi semula. Tak ayal jika hal-hal yang tidak perlu diatur dalam masyarakat simpel menjadi penting dalam masyarakat kompleks. Hal ini karena mengatur masyarakat heterogen lebih sulit ketimbang masyarakat homogen, lebih-lebih, jika dilihat dari model interaksi yang timbul.

Dari sisi lain, masyarakat Indonesia dapat pula dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik, jika ditilik dari watak komunal bangsa ini secara umum, meskipun dalam kondisi tertentu dapat dikatakan memiliki solidaritas organik yang agak dipaksakan. Sikap solidaritas ini diungkapkan dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan yang terangkum dalam pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” (Ali, 2006: 86).

Dalam pandangan Rahardjo (2006b: 85-87), bangsa Indonesia boleh dibilang telah menjadi tawanan Barat. Dalam hal hukum, para cendekiawan dan penegak hukum diberi kesempatan untuk belajar hukum di luar negeri, misalnya di Belanda, sehingga apa yang mereka terapkan di Indonesia adalah hukum yang jauh dari watak dan kepribadian bangsa. Sistem hukum barat yang berwatak liberal dan menekankan kebebasan individu menolak partisipasi masyarakat dalam urusan penegakan hukum. Jepang sebenarnya memiliki pengalaman yang sama dengan Indonesia, yakni mengalami pemaksaan hukum dari luar. Namun, mereka telah berhasil memberikan polesan hukum khas Jepang setelah mereka sadar bahwa hukum Barat tidak selaras dengan kepribadian mereka.

Masalah budaya hukum ini, Rahardjo (2006b: 85-87) menegaskan bahwa budaya hukum bangsa ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh bangsa itu.[15] Masalah yang dihadapi oleh bangsa-bangsa Timur yang terpaksa mengambil hukum barat akan mengalami masalah yang cukup serius karena hukum modern yang mereka ambil tidak selaras dengan nilai budaya yang mereka anut. Indonesia misalnya, kehidupannya masih bersifat komunal dan kolektif sedangkan ajaran barat menuntun mereka untuk bersifat individualistis. Jika hal ini diteruskan, maka Indonesia akan kehilangan jati dirinya.

Selanjutnya, secara teleologis, manfaat pembahasan tentang kedua jenis hukum ini dalam kajian hukum Indonesia adalah bahwa dua karakter yang dibuat Durkheim ini masih dapat diberlakukan untuk membidik masyarakat masa sekarang. Hanya saja varian-variannya kini lebih banyak. Ketika kita dihadapkan kepada situasi riil masyarakat, kita akan banyak menemukan banyak kesenjangan. Contoh kasus, masalah pemilihan jodoh adalah masalah pribadi, tapi mengapa ketika keluarga tidak setuju, hal ini kemudian menjadi masalah besar? Beranikah kita menikahi seorang pelacur di pinggir jalan dengan maksud ingin membantu sementara keluarga tidak ada yang setuju? Atau persoalan selingkuh, mengapa pasangan yang selingkuh diarak beramai-ramai? Juga, mengapa masalah pornografi diatur negara? Dan masih banyak pertanyaan yang bisa kita sampaikan terkait dengan hal ini.

Dengan demikian, mengetahui tipe-tipe ini dapat digunakan untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan di masyarakat kita. Jika kecenderungannya komunal maka hukumnya bersifat respresif, namun jika cenderung individual, maka hukumnya bersifat restitutif. Adapun seperti masyarakat yang sangat heterogen, seperti Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Meraoke, perlu dilakukan studi lapangan secara hati-hati sebelum merilis sebuah peraturan atau undang-undang sehingga produk hukum tersebut sesuai dengan kehendak masyarakat dan dapat diterapkan secara efektif dan konsisten.

Di akhir pembahasan ini, nampaknya perlu disampaikan bahwa jika peran agama pada suatu masyarakat cukup dominan, umumnya hukum yang berlaku cenderung represif sedangkan dalam masyarakat yang tidak didominasi oleh kekuatan agama, hukum yang berlaku cenderung bersifat restitutif. Dalam kasus Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas penduduk. Dengan demikian, cukup wajar jika beberapa perundang-undangan yang dilahirkan parlemen dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terkait langsung dengan kehidupan keberagamaan, misalnya, undang-undang Perkawinan, undang-undang Wakaf dan terakhir undang-undang Pornografi. Semua itu, meskipun tidak menyebut Islam secara jelas, namun nuansa pengekangan dalam produk hukum tersebut cukup mendominasi.

C. PENUTUP

Pemikiran Durkheim seputar hukum dan masyarakat menunjukkan bahwa hukum tidak dapat lepas dari akar sejarah dalam masyarakat. Keluasan dan keluwesan hukum bergantung kepada masyarakat yang menciptakan dan yang menjalankan hukum tersebut.

Masyarakat sederhana berbeda dalam pemilihan hukumnya dibanding masyarakat kompleks. Masyarakat yang masih sederhana akan cenderung memiliki solidaritas mekanik untuk mempertahankan tatanan yang sudah kokoh di masyarakat. Untuk itulah, mereka memilih hukum represif sebagai piranti penegaknya. Sebaliknya masyarakat kompleks memiliki solidaritas organik dengan hukum restitutif sebagai kendalinya. Nampaknya pemilahan semacam ini terlalu menyederhanakan masalah (over simplification).

Pemilahan Durkheim yang terlalu sederhana dalam melihat masyarakat dan hukum sebenarnya akan menimbulkan banyak problem. Masyarakat yang setengah sederhana dan setengah kompleks--atau masyarakat transisi--tidak mendapat sentuhan bahasannya. Begitu pula kelebihan dalam masyarakat sederhana sepertinya tidak menjadi perhatian karena lebih menekankan kepada perlunya hukum restitutif pada era sekarang. Padahal, dalam tataran tertentu, hukum represif masih efektif untuk mencegah berkembangnya ketidakteraturan dalam masyarakat. Wa Alla>h A‘lam bi as-S{awa>b.


BIBLIOGRAFI

Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Black, Donald, 1976, The Behavior of Law, New York: Academic Press.

Durkheim, Emile, 1991, Sosiologi dan Filsafat, diterjemahkan oleh Soedjono Dirdjosisworo, Jakarta: Erlangga.

--------------, 2003, Sejarah Agama, diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: Ircisod.

Gunaryo, Ahmad, 2006, “Dari Rule of Law menuju Rule of Justice” dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hartono, Sunarjati, 1976, Apakah the Rule of Law itu?, Bandung: Alumni

Jary, David dan Julia Jary, 1991, The Harper Collins Dictionary: Sociology, New York: HarperCollin Publisher.

Johnson, Alvin, 1994, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, Jakarta: Rineka Cipta.

Nonet, Philippe, dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, New York: Harper & Row Publishers.

Pals, Daniel L., 1996, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press.

Rahardjo, Satjipto, t,th., Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru.

--------------, 1984, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa.

--------------,2006a, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya.

--------------,2006b, Sisi-sisi lain Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas.

Rasyidi, Lili, dan Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remadja Karya.

Raz, Josep, 1972, the Authority of Law, New York: Oxford University Press.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Alimuddin, Jakarta: Prenada Media.

Soejono, 1977, Pokok-pokok Sosiologi sebagai Penunjang Studi Hukum, Bandung: Alumni.

Soekanto, Soerjono, 1985, Emile Durkheim Aturan-aturan Metode Sosiologis, Jakarta: Rajawali.

--------------, 2004, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Turkel, Gerald, t.th., Law and Society, Critical Approaches, Boston: Allyn & Bacon.




[1] Teks aslinya adalah any self-perpetuating human grouping occupying a relatively bounded territory, having its own more or less distinctive culture and institutions, a particular people, such as the Nuer or a long or well established nation-state, such as US or Britain.

[2] Teks aslinya adalah the system of rules and sanctions, the specialist institutions and specialist personnel.

[3] Buku ini menjelaskan penelitian Durkheim tentang bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern (Pals, 1996: 93-94)

[4] Buku ini sudah dialihbahasakan oleh Inyiak Ridwan Muzier (2003) dengan judul Sejarah Agama. Buku yang tebalnya sebanyak 645 halaman terbagi dalam tiga buku. Buku pertama adalah Pertanyaan-Pertanyaan Persiapan, Buku Kedua menyajikan Kepercayaan-Kepercayaan Elementer, dan buku Ketiga mengetengahkan Bentuk-Bentuk Perilaku Ritual yang Mendasar.

[5] Berbeda dengan Turkel, Rasyidi dan Sidharta (1989: 131) mengatakan bahwa Roscoe Poundlah pendasar aliran hukum sosiologis. Alasannya adalah bahwa banyak hasil karya Sosiologi pada abad ke-20 dilahirkan oleh Pound dan pengikutnya di Amerika Serikat.

[6] Isi buku ini dapat dinikmati dalam ulasan singkat namun padat karya Soekamto (1985) yang memang khusus mengulas pikiran metodologis Durkheim.

[7] Durkheim dalam buku ini menyajikan penelitiannya tentang berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingkat yang rendah (www.wikipedia).

[8] Dalam menjelaskan hal ini, Johnson (1994: 104) memaparkan bahwa Sanksi represif merupakan sanksi yang berupa suatu celaan dari masyarakat, penghinaan terhadap kehormatan, baik hukuman mati atau hukuman badan, serta penghapusan kemerdekaan.

[9] Raharjo (2006a: 294) mengatakan bahwa Durkheim mencari jawaban dari kegelisahannya tentang tatanan sosial yang terdiri dari individu namun mereka tunduk dalam hukum. Ternyata faktor yang paling dominan dalam hal ini adalah adanya solidaritas.

[10] Hukum represif dalam pandangan Nonet dan Selznick (1978: 29-46) adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif, Artinya dengan banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat. Pada umumnya hukum represif menunjukkan karakteristiknya sebagai berikut: a) institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara kepada raison d’etat; b) perspektif resmi mendominasi segalanya dengan mengidentifikasi kepentingan penguasa sebagai kepentingan rakyat; c) Kepentingan rakyat untuk mendapatkan keadilan terbatas; d) bahan-bahan khusus seperti: polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas; e) suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial; f) hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

[11] Penyebutan transisi ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pikiran Durkheim masih berpeluang untuk dikritisi dan dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya era saat ini.

[12] Berdasarkan contoh di atas, mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa masyarakat sederhana identik dengan masyarakat pedesaan sedangkan masyarakat kompleks lebih sesuai dengan masyarakat perkotaan. Pendapat ini boleh jadi benar, akan tetapi Durkheim, seperti dijelaskan Turkel, sama sekali tidak menyinggung pembagian masyarakat ditinjau dari sisi lokasi atau wilayah, namun lebih kepada pembagian masyarakat berdasarkan karakter penduduknya.

Meski begitu, ada juga salah satu sumber yang membandingkan pikiran Durkheim dengan pikiran Tonnies tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeninschaft memiliki ciri-ciri 1) merupakan masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman 2) memiliki tujuan kesatuan yang esensial, dan 3) orang bekerja sama untuk kepentingan bersama. Adapun Gesellschaft memiliki karakter antara lain 1) kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar, 2) hidup di kota bercirikan perpecahan, individualisme dan mementingkan diri sendiri, dan 3) di kota tidak ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga. Dari sini dapat dilihat bahwa Gemeinschaft memiliki ciri masyarakat pedesaan yang identik dengan solidaritas mekanik. Di sisi lain, Gesellschaft memiliki karakter masyarakat kota yang mirip dengan solidaritas organik. (Rangkuman Modul Sosiologi Perkotaan, Universitas Terbuka, http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online).

[13]Dalam pandangan Hart, sebagaimana dikutip Rahardjo (t.th.: 44), masyarakat yang semacam ini dapat disebut sebagai masyarakat yang berada dalam tingkat primary riles of obligation yang memiliki cirri-ciri antara lain komunitas kecil, didasarkan pada ikatan kekerabatan, memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan berada dalam lingkungan yang stabil.

[14] Pembahasan Rule of Law dapat ditelusuri lebih lanjut dalam pelbagai buku antara lain karya Josep Raz (1972) yang berjudul “the Authority of Law” dan Sunarjati Hartono (1976) dalam buku “Apakah the Rule of Law itu?”, atau artikel Ahmad Gunaryo (2006) dengan judul “Dari Rule of Law menuju Rule of Justice” dalam buku “Menggagas Hukum Progresif Indonesia.”

[15] Hal ini sejalan dengan Black (1976: 63-80) bahwa salah satu yang mempengaruhi penegakan hukum adalah watak sebuah masyarakat.

Catatan: telah diterbitkan di dalam Jurnal Istinbath, Fakultas Syariah IAIN Mataram, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction