Jumat, 20 Maret 2009

QUO VADIS GERAKAN ZAKAT DI PERGURUAN TINGGI


Dua tahun yang lalu seminar regional bertema ”Peranan Pendidikan Tinggi dalam Membangun Peradaban Zakat Asia Tenggara” berlangsung di UIN Malang. Pada seminar itu hadir para akademisi dan praktisi zakat, tidak hanya dari Indonesia, namun juga beberapa pakar zakat dari Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Seminar yang dibuka oleh Menteri Agama, M. Maftuh Basuni, membicarakan tentang pengembangan zakat di Asia Tenggara, salah satunya melalui pintu perguruan tinggi. Sayangnya, tidak terlalu banyak pembicara yang membincang tentang bagaimana perguruan tinggi memainkan peran dalam membangun peradaban zakat secara mendalam di zaman sekarang.

Perguruan tinggi merupakan istitusi tertinggi dalam jenjang pendidikan formal. Di tempat ini, berkumpul para pemikir dan para ahli di berbagai disiplin ilmu yang berjuang melahirkan generasi-generasi handal masa depan. Para profesor dan dosen bersama mahasiswa giat melakukan kegiatan-kegiatan yang telah menjadi agenda utama perguruan tinggi yang terangkum dalam Tri Darma Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat. Ketiga komponen ini merupakan tonggak pemancang kemajuan sebuah bangsa. Bila salah satunya terabaikan, otomatis perjalanan roda kehidupan akan kurang maksimal.

Dalam hal pengembangan zakat, selama ini tugas untuk mengkaji dan mencari terobosan baru masih dimonopoli oleh praktisi agama. Mereka dianggap oleh masyarakat sebagai kelompok yang kompeten sekaligus berkepentingan dengan zakat. Apalagi, zakat membutuhkan tenaga teknis yang dianggap tidak perlu berlatar pendidikan formal seperti perguruan tinggi. Tak ayal kalau masalah zakat cenderung menjadi perbicangan terbatas dalam majelis taklim, masjid, atau mushalla. Jarang sekali ditemukan diskusi zakat di lembaga-lembaga formal. Hal ini bisa dimaklumi bahwa masalah zakat adalah urusan pribadi karena sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Orang yang tidak berzakat juga tidak mendapat hukuman sosial yang tegas. Kondisi ini ditambah lagi dengan konsep zakat yang masih dipahami terbatas sebagai zakat fitrah sehingga cukup diurus pada bulan ramadhan saja, tidak lebih dari itu. Pengelolaannya pun jauh dari kata profesional. Kalau kemudian ada ulama atau tokoh agama yang menganjurkan penunaian zakat pada bidang-bidang tertentu, apalagi yang tergolong baru seperti zakat profesi atau investasi, tentu respon masyarakat tidak seperti yang diharapkan.

Perguruan tinggi yang dikenal sebagai agent of social change (agen perubahan sosial) seharusnya tidak berdiri di atas menara gading. Perguruan tinggi harus secara tanggap memberikan jalan keluar untuk mengatasi problema yang berkembang di masyarakat. Persoalan kemiskinan dan ketidakmerataan kesejateraan perlu mendapat porsi yang signifikan dalam program-programnya. Salah satu cara mujarab menyesaikan masalah tersebut adalah memaksimalkan piranti ekonomi yang dimiliki masyarakat, antara lain melalui gerakan zakat. Perguruan tinggi harus mampu menawarkan konsep sekaligus langkah praktisnya dalam pengembangan zakat di Indonesia. Berikut ini akan dijabarkan langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan perguruan tinggi dalam mengimplementasikan Tri Dhama Perguruan Tinggi.

Pertama, dalam pengembangan zakat, pendidikan di perguruan tinggi memegang peranan yang signifikan dalam hal diseminasi konsep zakat. Ada beberapa cara perguruan tinggi dalam mengenalkan konsep zakat kepada mahasiswanya. Kampus yang berasaskan Islam akan memasukkan kajian zakat sebagai salah satu mata kuliah yang ditawarkan sedangkan perguruan tinggi berbasis umum akan menyelipkan materi zakat dalam kajian ilmu agama Islam. Pada gilirannya, para sarjana dengan minat yang tinggi pada manajemen zakat akan menjadi generasi profesional zakat. Ini merupakan kemajuan yang nyata dalam pembumian ajaran zakat di perguruan tinggi.

Bagi lembaga perguruan tinggi yang berbasis umum, bukan berarti mereka tidak bisa menjadi agen penyebar informasi zakat, mereka justru bisa menjadi pengelola zakat dari penerimaan hingga pendistribusiannya. Universitas Brawijaya Malang, misalnya, telah menunjukkan peran signifikannya di bidang zakat dengan mendirikan Lembaga Zakat, Infak dan Sedekah (Lagzis). Dengan demikian, mahasiswa dan mungkin juga dosen dan karyawan, yang ingin mendapatkan informasi tentang seluk-beluk zakat dapat langsung menghubungi pusat zakat di kampus mereka.

Pemahaman mahasiswa akan ajaran penting ini akan mendorong mereka untuk mendalami lebih lanjut melalui forum kajian Islam yang berkembang di kampus. Pengajian-pengajian rutin yang diselenggarakan oleh pelbagai masjid kampus khususnya bulan Ramadhan sering membahas materi zakat. Ini merupakan langkah yang harus selalu dikawal dalam menciptakan akademisi yang ‘melek’ zakat dan suatu saat akan menjadi muzakki yang taat.

Kedua, Perguruan tinggi juga dapat berperan sebagai penyedia tenaga profesional amil zakat. Dalam konteks pengembangan zakat, sumber daya manusia yang memiliki kecakapan di bidang zakat sangat dibutuhkan. Mereka tidak hanya mengetahui tapi menguasai secara mendalam. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang jelas untuk menyediakan tenaga profesional. Dalam operasional zakat, banyak dibutuhkan kualifikasi sumber daya manusia yang terstruktur. Moh. Arifin Purwakananta, sebagai contoh, telah memetakan struktur SDM pengelola zakat. Struktur kebutuhan SDM profesi manajemen zakat tersebut dapat digambarkan dalam bentuk piramida dengan lima komponen, yakni ekspertis atau ahli utama, manajemen atau ahli, tenaga pelaksana, tenaga terampil, dan kelompok terakhir adalah pembantu pelaksana.

Ketiga, penelitian merupakan salah satu pilar pengembang keilmuan secara universal. Di kampus, penelitian telah dinaungi oleh sebuah lembaga, semisal lembaga penelitian dan pengembangan. Di perguruan tinggi tertentu, kegiatan penelitian telah rutin diprogramkan melalui anggaran tahunan untuk memberi kesempatan kepada setiap dosen mengembangkan keilmuannya. Juga para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir studinya dituntut untuk melakukan sebuah penelitian sebagai bukti kesarjanaannya.

Dalam mengembangkan zakat, perguruan tinggi dapat memulai untuk menstimulasi mahasiswa melalui tugas-tugas sederhana terkait dengan fenomena masyarakat dewasa ini. Misalnya, problem kemiskinan yang hingga kini tetap menjadi isu aktual di Indonesia dan kiat-kiat efektif penanggulangannya. Mereka dapat menelaah kejadian-kejadian seputar kesenjangan sosial-ekonomi yang berada di sekitar mereka, baik melalui media elektronik maupun cetak. Hasil penelitian semacam itu dapat dijadikan acuan untuk menggali dan mendayagunakan dana umat secara nyata dan meyakinkan.

Salah satu muara dari program penelitian, kampus dapat menjadikan ajang penelitian sebagai sarana untuk membidik masalah yang benar-benar dihadapi masyarakat sehingga mudah untuk memberikan solusi yang dibutuhkan. Kegiatan ini lazim disebut Participatory Action Research (PAR). Dengan PAR, pengabdian masyarakat perguruan tinggi tidak salah sasaran karena berbasis penelitian.

Keempat, Kegiatan Penyuluhan Sadar Zakat ini sangat mudah dilakukan oleh kampus-kampus yang memiliki tenaga ahli di bidang agama, khususnya zakat. Misi ini dapat diselipkan dalam setiap dakwah dilakukan di majelis taklim atau pengajian yang tumbuh subur di masyarakat. Masyarakat lebih mudah mendapatkan pencerahan melalui siraman rohani yang fleksibel, artinya penyuluhan informal yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah mempunyai posisi di hati masyarakat.

Langkah konkret lain yang dapat dilakukan perguruan tinggi adalah mengumpulkan zakat dari para muzakki baik dari kalangan kampus maupun masyarakat yang berkecukupan. Peran penelitian dalam pemetaan potensi zakat kampus dan lingkungan sekitar akan bermanfaat dalam penjemputan zakat dan pendistribusiannya. Dengan demikian, kampus yang selama ini masih dianggap sebagai dunia lain oleh masyarakat awam akan semakin terasa manfaatnya untuk kemajuan umat. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction