Minggu, 19 April 2009

IBN RUSYD: SANG KOMENTATOR

(Filosuf Islam Terbesar dari Barat)

I. MUKADIMAH

Dalam studi tokoh Ibn Rusyd, dirasa perlu kita melongok kembali perjalanan pemikiran filsafat sebelumnya, terlebih kepada pemikiran Al-Ghazali tanpa berniat menafikan keterkaitannya dengan Al-Farabi atau Ibn Sina. Ibn Rusyd adalah figur filosuf yang terbit dari dunia Barat (maghribi), adapun tokoh yang disebut sebelumnya adalah “bintang-bintang” kenamaan dari Timur (masyriqi).

Popularitas Ibn Rusyd terdongkrak saat beliau berhasil menulis ulasan tegas sebagai suatu perlawanan ilmiah atas tuduhan-tuduhan “miring” terhadap para filosuf yang dilancarkan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah (Incoherence of Philosophers).[1] Sanggahan yang lugas Ibn Rusyd tersusun dalam karya besarnya Tahafut Al-Tahafut (Incoherence of Incoherence).

Dalam buku sebelumnya--ketika Al-Ghazali pertama-tama mempelajari secara serius tentang filsafat—Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia dalam kapasitasnya sebagai orang dalam (kaum filosuf) mencoba menggolongkan para filosuf ke dalam tiga kelompok, yaitu :

a. Kelompok Dahriyyun (skeptis) yang berkeyakinan bahwa tuhan tidak ada.

b. Kelompok Thabi’iyyun ( Naturalis) , bagi mereka yang sangat tertarik soal-soal kealaman, kesimpulan yang dapat ditarik adalah jiwa akan hancur bersama hancurnya jasad, sehingga tidak ada dunia selain dunia saat ini, tiada alam kubur, akhirat, surga maupun neraka.

Untuk kedua golongan di atas, Al-Ghazali dengan berani menyebut mereka sebagai zindiq[2] atau bahkan kafir.

c. Kelompok Ilahiyyun (Metafisika), mereka mengakui adanya tuhan. Yang tergolong kelompok ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles.[3]

Sedang pada buku keduanya, Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali terang-terang memposisikan dirinya sebagai tokoh muslim yang telah mempelajari filsafat dengan mendalam mendobrak dua puluh[4] kesesatan dan kebobrokan filsafat dan para filosuf yang dianggapnya telah membawa kepada bid’ah dengan kafir sebagai ujungnya. Dalam hal ini tak terkecuali para filosuf muslim terutama Al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antaranya yang kemudian mendapat tanggapan balik cukup kritis dari Ibn Rusyd adalah 1) Kekadiman Alam, 2) Pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal yang Universal, dan 3) kebangkitan Jasmani Manusia di Akhirat. Ulasan lebih lanjut akan diuraikan dalam bab pembahasan.

Al-Ghazali begitu luas pengaruhnya sampai ada yang mengatakan tiada orang yang pengaruhnya lebih luas setelah Nabi Muhammad selain Al-Ghazali. Akan tetapi justru karena pengaruh hebat itu hingga “menidurkan” kreatifitas dan semangat kelimuan umat Islam. Tak heran kalau kemudian muncul sinyalemen seperti dituturkan oleh Yusuf Qardawi bahwa Al-Ghazali harus bertanggung jawab atas kemunduran Islam secara keseluruhan.[5]

II. PEMBAHASAN

A. Ibn Rusyd dalam Lintasan Sejarah

Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ibn Rusyd, demikian nama lengkapnya. Di Eropa dan juga dalam literatur Latin abad pertengahan Ibn Rusyd dikenal sebagai Averroes,[6] seorang filosuf Arab yang tersohor menulis komentar-komentar yang terkenal tentang karya-karya Aristoteles. Dengan demikian ia telah menyebarkan pengetahuan tentang filsafat Yunani ke Eropa. Karena kiprahnya itulah akhirnya ia dijuluki sang Komentator,[7] Eksplainer,[8] Syarih, Juru Tafsir, atau bahkan Bapak Rasionalisme Islam, sebagaimana Mulyadhi Kartanegara gelarkan.[9]

Di Kordova, Ibukota Andalusia (Spanyol) tahun 520 H/ 1126 M adalah tempat dan tahun lahirnya. Lingkungan keluarganya mempunyai perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai Qadhi (hakim) di Seville dan sebagai Qadhi Al-Qudhat (hakim agung) di Kordova.[10]

Ia belajar fikih dari ayahnya, sehingga dalam usia yang relatif muda, Ibn Rusyd telah hafal kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik. Dengan begitu ia ahli di bidang fikih terutama fikih Maliki yang beraliran Asy’ariyah.[11] Di samping itu, ia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan Ibn Jarbun Al-Balansi, sedangkan logika, filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibn Tufail. Ia juga mempelajari sastra Arab, matematika, fisika, dan astronomi.[12] Ibn Rusyd dipandang sebagai filosuf yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya (700-720 M). Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran Latin dari tahun 1200-1650 M.[13]

Ibn Rusyd hidup dalam situasi politik yang tak mengenakkan. Ia lahir saat Daulah Murabithun—didirikan oleh Yusuf Ibn Tashfin (1090-1106 M) di Maghribi dan berakhir pada masa sultan kelima, Ishak (1146-1147 M), dunia intelektual pada masa itu didominasi oleh para ahli fikih yang bersikap sangat tidak simpatik terhadap ilmu-ilmu rasional—sedang berada dalam jurang keruntuhan. Daulah Murabithun akhirnya digulingkan oleh Daulah Muwahidin tahun 1147 M dan setahun kemudian Kordova pun ditaklukkan. Tiga pewaris tahta Daulah Muwahidin, setelah pemimpin mereka, Ibn Tumart[14], wafat (1078-1130) adalah Abd Al Mu’min, Abu Ya’kub, dan Abu Yusuf Al-Mansur. Mereka terkenal mempunyai semangat keilmuan dan falsafat. Kepada merekalah Ibn Rusyd pernah mengabdikan diri. Seperti saat Abu Ya’kub berkuasa, Ibn Rusyd diperintahkan untuk menulis ulasan-ulasan tentang Aristoteles.[15] Di zaman Abu Yusuf Al-Mansur, pengaruh Ibn Rusyd semakin besar di istana. Pendapatnya dihormati dan diagungkan. Namun keadaan demikian tidak disenangi kaum ulama dan fuqaha.

Pada tahun 1195, keadaan terlihat bergolak akibat politik. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf Al-Mansur dan kaum Kristen, sultan memerlukan dukungan kaum ulama dan fuqaha. Ibn Rusyd akhirnya di-persona non-grata-kan dari istana dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena, sebuah perkampungan Yahudi sekitar 50 Km dari arah tenggara Cordova demi mendapat dukungan.[16] Pengasingan itu dilakukan berdasarkan tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibn Rusyd adalah seorang zindik dan bahkan kafir.[17]

Tindakan “sadis” yang ditimpakan kepada Ibn Rusyd mendapat tanggapan dan kecaman sinis dari berbagai kalangan, di samping ada pula yang mengajukan argumen obyektif sebagaimana yang dilakukan oleh pemuka kota Seville. Akhirnya berkat kegigihan dan kesabaran merekalah Ibn Rusyd dibebaskan[18] dan direhabilitasi[19] ke posisi semula (di istana).

Akan tetapi kebebasan Ibn Rusyd tidak berselang lama. Tuduhan dan fitnahan kembali dilancarkan. Akhirnya ia diasingkan ke Marokko. Semua buku karangannya dibakar terutama buku-buku filsafatnya dan sebagai konsekuensi logisnya ilmu filsafat tidak boleh diajarkan lagi.[20]

Namun secara menakjubkan, demikian Nurcholis Madjid menilai, pada masa sesudahnya pikiran-pikiran Ibn Rusyd yang dicoba dipadamkan oleh para penguasa dengan bantuan para tokoh keagamaan kolot itu, ternyata lebih hidup di kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen Eropa Barat -- karena memang karya-karya Ibn Rusyd telah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka sebelum peristiwa pembakaran (pen.)—kemudian bangkit kembali dengan segarnya di Universitas Paris, lalu berkembang menjadi salah satu bahan pokok kebangkitan intelektualitas mereka, dan selanjutnya ikut menentukan warna dan bentuk hubungan lebih lanjut antara dunia barat yang Kristen dan dunia timur yang Islam.[21]

Ibn Rusyd wafat pada tanggal 9 Shafar 595 H bertepatan dengan 10 Desember 1198 M dalam usia 75 (H) atau 72 (M) tahun di Maragues, Marokko. Setelah tiga bulan berlalu jenazahnya dipindahkan ke Kordova untuk dikebumikan di pemakaman keluarga. Ahli tasawuf ternama Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi pun turut menghadiri pemakaman kembali itu.[22]

B. Karya-Karya

Sejarah mencatat bahwa Ibn Rusyd adalah seorang sarjana yang sangat produktif. Ia rajin menimba ilmu dan mengamalkannya, membaca dan mengarang, sehingga tak satu malam pun berlalu tanpa guna, kecuali hanya dua malam saja, yaitu hari meninggal ayahnya dan malam perkawinannya.[23]

Ia menulis sejak usia 34 tahun (usia paling pruduktif, tak menafikan bahwa beliau sudah menulis sebelum usia itu—pen.)dan tak pernah berhenti hingga menjelang wafatnya. Adalah Ernest Renan, setelah menjelajah ke berbagai perpustakaan Eropa, menemukan daftar karya-karya Ibn Rusyd di perpustakaan Escurial, Madrid yang berjumlah 78 buku yang terperinci sebagai berikut :

28 buah dalam ilmu falfafat

20 buah dalam ilmu kedokteran

8 buah dalam ilmu hukum (fiqih)

5 buah dalam ilmu teologi (kalam)

4 buah dalam ilmu perbintangan (astronomi)

2 buah dalam ilmu sastra Arab

dan 11 buah dalam berbagai ilmu.[24]

Karya-karya tersebut hanya sedikit yang sampai ke tangan kita, sebagian lagi sudah diterjemahkan ke bahasa Latin dan Yahudi.

Di antara karangan-karangan dalam soal filsafat yang tercatat oleh Poerwantana adalah :

1. Tahafut Al-Tahafut

2. Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi an ‘Adami Ta’alluqihi bi Al-Juz’iyyat

3. Tafsir Ma ba’da al-Thabiat

4. Fasl Al-Maqal fi Ma baina Al-Hikmah wa Al-Syari’ah min Al-Ittishal

5. Al-Kasyfu an Manahij Al-Adillah fi Aqaid Ahli Al-Millah

6. Naqdu Nadzariyat Ibn Sina an Al-Mumkin

7. Risalah fi Al-Wujud Azali wa Al-Wujud Muaqqat

8. Risalah fi Al-Aqli wa Al-Ma’qul.[25]

Bidang Kedokteran

1. Kitab Al-Kulliyat (Culliyat Generalis)

2. Syarh Urjuzat Ibn Sina fi Al-Thib (Comentary sur le Poeme Medical d’Ibn Sina Appele Ajuza)

3. Al-Tiryaq (De la Theriaque)

4. Risalah Al-Mufradat (De Simplicibus)

5. Fi Al-Mijazi Al-Mu’tadil (De Temperamenst Equx un Traite)

dan lain-lain.

Bidang Fiqh

1. Bidayat Al-Mujtahid wa Al-Nihayat Al-Muqtashid

2. Mukhtashar Mustashfa bi Ushul Al-Fiqh

3. Al-Da’awi

4. Durus fi Al-Fiqh

5. Kitab Al-Kharaj

Dan lain-lain

Bidang Politik

1. Jawami’ Siyasiyat Aflathun

2. Talkhis Kitab Al-Ahlaq ila Niqumakhus

3. Al-Kharaj

4. Syarkh Aqidat Al-Imam Mahdi

5. Makasib Al-Muluk wa Murabina Al-Muharram

Dan lain-lain.[26]

Memperhatikan buku-buku di atas, maka karya-karya Ibn Rusyd dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan; komentar, kritik dan pendapat.[27] Adapun komentar terbagi ke dalam tiga kategori; singkat (summary, jami’), sederhana (resume, talkhis), dan luas (comentary, syarh, tafsir).[28]

C. Filsafat Ibn Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M)

1. Penyelarasan Filsafat dan Agama

Dalam pendapatnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan Islam. Bahwa orang Islam diwajibkan atau paling tidak dianjurkan mempelajarinya. Tugas filsafat tidak lain ialah berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada.[29] Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat.[30]

Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat di satu sisi dan teks Al-Qur’an disisi yang lain, Ibn Rusyd menandaskan bahwa teks Al-Qur’an hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal melalui jalan ‘ta’wil[31]. Hal serupa menurutnya telah dilakukan oleh ulama fiqih dalam masalah hukum. Jadi, filosuf pun boleh dan berhak melakukannya.

Dalam menanggapi kandungan isi Al-Qur’an’ ia membagi manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu awam (illeteral), pendebat, dan ahli pikir (literal). Kepada golongan awam, Al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan takwil. Oleh karena itu , takwil harus ditulis hanya dalam buku-buku khusus yang diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang-orang yang bukan ahlinya tidak membaca dan menyebarkannya.

Ibn Rusyd juga menyetujui pendapat bahwa Al-Quran mempunyai makna batin di samping makna lahir yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataan memang manusia memiliki naluri dan kemampuan yang berbeda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli pikir dan filosuf dan tak mampu dicerna kaum awam.[32]

2. Filsafat Jiwa.

Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd juga membagi manusia atas dua unsur, materi dan bentuk (forma).[33] Materi adalah jasad, adapun bentuk adalah jiwa. Jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi jasad.

Jiwa terbagi atas lima bentuk, yaitu:

a. Jiwa Nabati (an-nafs an-nabatiyah), yang mempunyai daya-daya: makan/minum, tumbuh dan berkembang biak.

b. Jiwa Inderawi (an-nafs al-hassah), yang memiliki daya melihat, mendengar, mencium, merasa, dan meraba.

c. Jiwa Keinginan (an-nafs an-nuzu’iyyah) yang mempunyai daya mengingini sesuatu yang disenangi dan berpaling dari yang tidak disukai.

d. Jiwa Khayali (an-nafs al-mutakhayyilah), yang mempunyai daya-daya menghayal apa-apa yang telah didapat panca indera.

e. Jiwa Penalaran (an-nafs an-nathiqiyah) yang memiliki daya untuk menanggapi hal-hal yang abstrak yang telah lepas dari materi.[34]

Jiwa yang dimiliki tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia adalah jiwa nabati. Jiwa inderawi dan jiwa keinginan dipunyai hewan dan manusia. Adapun yang khusus diperuntukkan manusia adalah jiwa khayali dan jiwa penalaran.

Dengan jiwa khayali, manusia dapat memproduksi apa yang telah dicapai oleh inderanya dalam bentuk ketidakpastian. Sedangkan dengan jiwa penalaran, manusia dapat mencapai pengetahuan-pengetahuan positif.

Jiwa penalaran mempunyai dua bagian, akal teoritis dan akal praktis. Akal praktis merupakan suatu daya yang dipergunakan setiap orang dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya yang praktis. Sedangkan akal teoritis merupakan daya nalar yang banyak tertuang pada hal-hal yang abstrak dan dia lebih bersifat ilahiyah. Oleh sebab itu jiwa akal teoritis ini diaktifkan, ia akan dapat berhubungan dengan akal fa’al.[35]

Dalam usaha mencapai kebenaran, Ibn Rusyd menempuh metode penggunaan nalar (rasional) ketimbang Al-Ghazali yang memilih jalan intuisi (mistikal).[36]

3. Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rustd berpendapat bahwa Alah adalah Penggerak Pertama (muharrrik awal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal” dan “Ma’qul”. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esaan-Nya tidak berbeda dari Zat-Nya.

Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dianutnya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai dalama pemahaman Islam sebelumnya, hanya ditemukan dalam filsafat para tokoh di atas.[37]

Cara mengenal tuhan menurut golongan tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karena menurut mereka mengenal Tuhan dan wujud-wujud lain adalah melalui jiwa ketika sudah lepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan menghadapkan pikiran kepada apa yang dituju. Bagi Ibn Rusyd, pemahaman seperti ini tidak dapat diberlakukan umum. Bahkan, jalan tersebut berlawanan dengan syariat yang menyuruh kita menggunakan akal pikiran.

Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan :

a. Dalil inayah al-ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat teratur dan sesuai dengan kehidupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil ini diantaranya Q.S. Al-Naba’/78: 6-7.[38]

b. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan). Termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit, dan bumi. Segala yang maujud di alam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan, yakni sang Pencipta. Ayat pendukung dalil ini antara lain Q.S. Al-Hajj/22: 73.[39]

c. Dalil Harakah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yakni Tuhan.

Dalil pertama dan kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syariat. Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga ialah dalil yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles yang kemudian dipergunakan Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri.[40]

4. Kekadiman dan Kekekalan Alam

Pendapat para filosuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat diterima kalangan teologi Islam, sebab menurut konsep teologi mereka, tuhan adalah Pencipta, yang mengadakan sesuatu dari tiada (cretio ex nihilo). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan tuhan bukan pencipta. Pendapat ini membawa kekufuran. Demikian Al-Ghazali.[41]

Para filosuf memang meyakini bahwa alam ini kadim. Kadim yang dimaksud adalah sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma huwa fi huduts da’im), tidak mempunyai permulaan dalam waktu. Pendapat ini disimpulkan dari pandangan mereka bahwa alam ini diciptakan dari sesuatu, bukan dari tidak ada.[42]

Ibn Rusyd menilai pendapat creatio ex nihilo, tidak mempunyai dasar yang kuat. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa tuhan pada mulanya berwujud sendiri, tidak ada wujud lain selain-Nya. Kemudian barulah Ia mencipta alam.

Dasar naqli bahwa bahwa alam dijadikan bukan dari tiada, tapi dari yang ada, dapat ditemukan dalam Q.S Hud/11: 7 yang berbunyi :

“Dan dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”

Kandungan ayat itu bagi Ibn Rusyd bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan tuhan. Pendeknya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air dan tahta.[43] Begitu pula pada Q.S. Hamim/41: 11 (penciptaan dari uap) dan Al-Anbiya’/21: 30 (bumi dan langit dari unsur yang sama lalu dipisahkan).[44]

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari uap atau air dan bukan dari tiada. Dengan demikian alam dari arti unsurnya bersifat kekal dari zaman lampau yaitu qadim, dan akan kekal selama-lamanya seperti bunyi ayat Q.S. Ibrahim/4: 47-48.[45]

5. Pengetahuan Tuhan terbatas Pada Yang Universal

Oliver Leaman menulis, Ibn Rusyd sebenarnya kurang sependapat dengan pemikiran Ibn Sina yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu di alam ini melalui pandangan-Nya yang tajam dengan hanya sekali ”kedipan”. Dalam komentarnya dalam Metaphysics Lambda ia mengkritik pendekatan indentifikasi pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan universal. Ibn Rusyd ingin mengambil jarak dari pendapat umum para filosuf yang berpandangan bahwa pengetahuan partikular Tuhan masuk dalam pengetahuan universal-Nya. Sebaliknya ia berpendapat Tuhan mengetahui segala yang ada (termasuk yang partikular) sejak esensi-Nya menyebabkan eksistensi segalanya.

Ia mengambil contoh bahwa kita mengetahui hubungan antara api dan panasnya. Kita tahu apa yang yang menyebabkan panas dan apa yang dinamakan panas. Pengetahuan semacam ini tidak dapat disebut pengetahuan universal maupun partikular.[46]

Agaknya Ibn Rusyd tidak ingin membedakan antara pengetahuan universal dan partikular. Karena menurutnya Tuhan mengetahui segalanya sejak eksistensi-Nya. Jadi perlu dibedakan antara pengetahuan Tuhan dan manusia. Pengetahuan manusia bersifat baru, sedang pengetahuan Tuhan bersifat kadim, semenjak azali mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini betapun kecilnya.[47]

Pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera dan pengetahuan itu akan selalu berubah-ubah dan berkembang sesuai dengan hasil penginderaannya. Adapun pengetahuan Tuhan diperoleh melalui akal dan sifat-Nya. Tidak ada hubungan secara langsung dengan materi yang rinci. Jadi, rupanya Al-Ghazali sedikit kurang memahami maksud para filosuf, demikian Hasyimsyah Nasution menyimpulkan.[48]

6. Pengingkaran Kebangkitan Jasmani.

Para Filosuf yang mengatakan bahwa di akhirat manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani adalah kafir. Pendapat Al-Ghazali ini didasarkan pada banyaknya ayat Al-Qur’an yang yang jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami pelbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran Al-Qur’an dalam hal ini tidak dapat ditakwilkan.[49]

Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali itu, Ibn Rusyd menandaskan bahwa para filosuf tidak menolak kebangkitan, bahkan semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan ukhrawi.[50] Hanya saja sebagaian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk ruhani dan sebagian lain berpandangan kebangkitan itu dalam bentuk ruhani dan jasmani sekaligus.

Meskipun Ibn Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam bentuk ruhani saja--menurutnya kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa bukan jasmani[51]-- namun ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana ruh-ruh akan menyatu dengan jasadnya sebagaimana keadaannya di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia, sebab jasad duniawi telah hancur dan lenyap sehingga mustahil untuk kembali.[52]

Namun sebenarnya, kata Ibn Rusyd, Al-Ghazali pada akhirnya mengakui bahwa kebangkitan ukhrawi hanya bersifat ruhani saja. Pengakuan ini ia sampaikan dalam bukunya yang bertopik kesufian. Dengan demikian batallah tuduhan pengkafiran kaum filosuf.[53]

III. PENUTUP

Perjalanan sejarah memang cukup unik untuk dinikmati, tak terkecuali perjalanan sejarah pemikiran. Ibn Rusyd, tokoh yang menyimpan kekuatan besar pendobrak kejumudan alam pikir dunia barat, telah menitipkan kepada generasi selanjutnya semangat untuk terus ber-mudzakarah dan berkarya, tanpa harus terpaku pada kebiasaan-kebiasaan meskipun kebiasaan itu telah berumur ratusan tahun. Melawan arus memang bukan tindakan tak berisiko, akan tetapi justru dengan begitu pendapat yang didasari argumen kuat akan gampang dikenal dan tentunya akan menemukan pengikut walaupun dalam rentang waktu yang panjang dan tak berurutan. Bukankah ada pepatah Arab mengatakan “ Bul zam-zam fa tu’raf” ?

Ibn Ruysd tidak sezaman dengan Al-Ghazali. Mereka terpaut satu generasi. Namun perdebatan mereka sungguh seru, terutama dalam tiga soal, yakni kekadiman alam, pengetahuan Tuhan terbatas kepada yang Universal, dan Kebangkitan Jasmani di Akhirat. “Perseteruan ilmiah” itu membuktikan bahwa Islam membuka selebar-lebarnya bagi pencarian dan pencapaian kebenaran, tanpa dibatasi oleh masa, tempat, pangkat atau apapun namanya.

Gaung Ibn Rusyd yang memenuhi dunia barat terus dikaji dan terbukti banyak pengikut fanatiknya (Averroesism). Kita ingat peristiwa inkuisisi yang dilancarkan oleh gereja. Kita kenal “Ordo Dominica” yang begitu giat untuk mempelajari pikiran Ibn Rusyd demi mengantisipasi gemanya yang dinilai menyesatkan. Salah satu tokoh Ordo Dominica adalah Thomas van Aquinas.[54] Namun sekali lagi kekejaman tidak akan pernah melunturkan gairah mempelajari jalan pikir orang besar seagung Ibn Rusyd. Wallahu a’lamu bi al-shawab.


(Telah dimuat dalam Jurnal Sintesis edisi I/2007, UIN Malang.

BIBLIOGRAFI

Abidin, Zainal, Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. ke-1

Ali,Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. ke-1,

Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), cet. ke-10

Daudy, Ahmad, (ed.), Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), jilid 2, cet. Ke-3

Fuad, Ahmad, Al-Ahwani, alih bahasa: Pustaka Firdaus, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. Ke-8

Ghazali, Al-, alih bahasa: Abu Ahmad Najieh, Penyelamat dari Kesesatan , (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), cet. ke-6

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-12

Hyman, Arthur & James J. Walsh (Ed.), Philosophy in The Middle Ages, The Christian, Islamic, and Jewish Tradistions, ( New York: Harper & Row, Publishers, 1967),

Kartanegara, Mulyadhi, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. Ke-1

Leaman, Oliver, Averroes and His Philosophy, (New York University Press, 1988)

____________, alih bahasa: Amin Abdullah, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), cet. Ke-1

Madjid , Nurcholish (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet.ke-3

Madkour, Ibrahim, Fi Al-Fasafah Al-Islamiyah, Minhaj wa Tathbiquhu, juz II, (Mesir: Darul Ma’arif, tt.)

____________,alih bahasa: Yudian Wahyudi dan A. Hakim, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta: CV Rajawali, 1988), Bagian I, cet. ke-1

Musa, Yusuf, alih bahasa: M. Thalib, Al-Qur’an dan Filsafat, ( Yogyakarta, PT. Tiara Wacana yogya, 1991), cet. ke-1

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet. ke-10,

Nasution , Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),cet.ke-1

Poerwantana (dkk), Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), cet. ke-4,

Praja, Juhaya S., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997), h. 136-139

Qardawi, Yusuf, alih bahasa: Pro-Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya:Risalah Gusti, 1997), cet. Ke-1

Syarif, MM. (ed.), Para Filosuf Muslim, (Bandung : Mizan, 1996), cet. ke-8

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati, dari Thales sampai James, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 1994), cet. Ke-4, h. 85-101.

Urvoy, Dominique, Ibn Rusyd (Averroes), (New York: Routledge, 1991)



[1] Silakan telaah buku ini yang kini telah diterbitkan oleh Darul Fikr Al-Bannani, Beyrut, 1993, setebal 231 halaman

[2] lahirnya Islam, batinnya kafir

[3] Al-Ghazali, alih bahasa: Abu Ahmad Najieh, Penyelamat dari Kesesatan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 25-28

[4] Namun Harun Nasution menyebut hanya sepuluh soal saja, yakni a) tuhan tidak punya sifat, b) tuhan punya substansi basith (sederhana) namun tak punya mahiyah (hakikat), c) tidak mengetahui juz’iyyah, d) tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis) dan al-Fasl (deferensia), e) planet bergerak dengan kemauan, f) hukum alam tak berubah, g) pembangkitan jasmani tidak ada, h) alam tidak bermula, dan I) alam itu kekal. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet. ke-10, h. 38-39, pendapat ini disetujui oleh Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997), h. 136-139

[5] Yusuf Qardawi, alih bahasa: Pro-Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet. Ke-1, h. 174-185

[6] Sebutan untuk Ibn Rusyd cukup beragam, yang terekam MM Syarif dalam Muslim Thought di antaranya adalah Averroes, Aven Rois, Abenruth, Liveroys, Benryst, Membucius dan Manvitius. Lihat Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. Ke-1, h. 27

[7] Arthur Hyman & James J. Walsh (Ed.), Philosophy in The Middle Ages, The Christian, Islamic, and Jewish Tradistions, ( New York: Harper & Row, Publishers, 1967), h. 283

[8] Ahmad Fuad Al-Ahwani, alih bahasa: Pustaka Firdaus, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. Ke-8, h. 108

[9] Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. Ke-1, h. 122

[10] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), jilid 2, cet. Ke-3, h. 165

[11] Ibrahim Madkour, Fi Al-Fasafah Al-Islamiyah, Minhaj wa Tathbiquhu, juz II, (Mesir: Darul Ma’arif, tt.), h. 149

[12] ilmu-ilmu inilah yang luput dari pembakaran karya-karya Ibn Rusyd saat terjadi fitnah besar terhadap beliau yang dilancarkan kaum ulama dan fiqaha’di kemudian hari.

[13] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),cet. ke-1, h. 113

[14] Ia adalah seorang brilian, murid Qadi Ibn Hamdin yang paham berseberangan dan tak jarang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, lebih jelas lihat Dominique Urvoy, Ibn Rusyd (Averroes), (New York: Routledge, 1991), h. 11-18

[15] MM. Syarif, (ed.), Para Filosuf Muslim, (Bandung : Mizan, 1996), cet. ke-8, h. 199-200, bandingkan dengan Hasyimsyah, loc. cit.,

[16] Harun Nasution, op. cit., h. 42

[17] Hasyimsyah, loc. cit.,

[18] Zainal Abidin, op. cit., h. 56

[19] Ibid., h. 58

[20] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), cet. ke-6, h. 165. Namun dalan literatur lain disebutkan bahwa Ibn Rusyd ke Marokko bukan untuk diasingkan, akan tetapi menghadiri acara pengampunan Sultan Abu Yusuf Al-Mansur yang memang bermukim di Marokko. Lihat Zainal Abidin, op. cit., h. 60-61 dan juga MM. Syarif, op. cit., h. 201

[21] Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. ke-3, h. 38

[22] Hasyimsyah, op. cit., h. 114

[23] Dapat kita bayangkan betapa Ibn Rusyd tak pernah lelah berpikir dan berkutat dengan buku dan pena, menganalisa setiap saat tak peduli dalam kondisi apapun yang ia alami; sakit, bepergian, atau dipenjara. Tak kurang dari 10.000 lembar kertas yang digunakan beliau untuk ‘hobi’ tersebut.

[24] Zainal Abidin, op. cit., h. 117

[25] Poerwantana (dkk), Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), cet. ke-4, h. 200 Luthfi Jum’ah sebagaimana dikutip Zainal Abidin, bahwa karya yang masih dapat dijumpai dalam bahasa arab hanya lima saja, yaitu Tahafut Al-Tahafut (falsafat), Fashl Al-Maqal (kalam), Al-Kasyf ‘an Manhij Al-Adillah (kalam), Qism Al-Arabi wa Wara’a Al-Thabi’iyah (metafisika), dan Bidayat Al-Mujtahid (fiqh). Lihat Zainal Abidin, op. cit., h. 118 Selain itu dapat ditambahkan dengan bebarapa karya dalam bentuk risalah, antara lain, Risalah Al-Sama’ Al-A’lam wa Al Kaun wa Al-Fasad (132 hlm), Risalah Al-Nafs (120 hlm), Risalah Al-Sama’ Al-Thabi’I (152 hlm), dan Risalah Al-Atsar Al-Uluhiyyah (112 hlm), yang telah dicetak oleh Darul Fikr Al-Bannani, Beyrut tahun 1993-1994.

[26] Untuk judul-judul buku lebih lengkap berikut isi dan nasibnya kini, silakan lihat Zainal Abidin, ibid., h. 126-144

[27] Dewan Redaksi Ensiklopedi, op. cit., h. 165

[28] Zainal Abidin, op.cit., 122-123

[29] Harun Nasution, op. cit., h. 43

[30] seperti bunyi akhir ayat afala yandzurun, afala yatadabbarun. Sebagai bandingannya silakan lihat Yusuf Musa, alih bahasa: M. Thalib, Al-Qur’an dan Filsafat, (Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), cet. ke-1, h. 19-47. Dalam buku itu terdapat satu bab khusus yang membahas tentang karakter Qur’an mengajak untuk berfilsafat.

[31] Takwil dimaksud adalah meninggalkan arti harfiyah ayat dan mengambil makna majazinya

[32] Dewan Redaksi Ensiklopedi, op. cit., h. 165-166, baca pula Harun Nasution, op.cit., h. 44, dan Zainal Abidin, op. cit., h. 155-160

[33] Persoalan materi dan bentuk dapat ditelusuri lebih lanjut pada pemikiran Aristoteles dalam buku K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), cet. ke-10, h. 148-149 dan juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-12, h. 51

[34] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. ke-1, h. 92-93

[35] Ada anggapan bahwa di balik alam terdapat sebab-sebab yang tersembunyi yang mengelolanya dan terdapat bentuk-bentuk yang memformulasikannya. Bentuk-bentuk ini timbul dari realitas yang kadim yang oleh para filosuf muslim disebut akal fa’al. Lihat Ibrahim Madkour, alih bahasa: Yudian Wahyudi dan A. Hakim, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta: CV Rajawali, 1988), Bagian I, cet. ke-1, h. 56-57.

[36] Yunasril Ali, loc. cit.,

[37] Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 117

[38] QS. Al-Naba’/78: 6-7 berbunyi: “ Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak ?

[39] “Hai manusia telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu sembah selain Allah sama sekali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, kendati mereka bersatu untuk menciptakanmya. Dan Jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat (pulalah) yang disembah.” Demikian bunyi Q.S. Al-Hajj/22: 73

[40] Ibid. h. 118-119

[41] Ibid., h. 120

[42] Dewan Redaksi Ensiklopedi, op. cit., h. 166

[43] Harun Nasution, op. cit., h. 45-46

[44] Q.S. Hamim/41: 11 berbunyi “Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih masih merupakan uap.”

Adapun Q.S. Al-anbiya’/21: 30 berbunyi “Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit-langit dan bumi (pada mulanya) bersatu dan kemudian kami pisahkan ? Kami jadikan segala yang hidup dari air.”

[45] Q.S. Ibrahim/14: 47-48, “Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasul-Nya, sesungguhnya Allah Makakuasa dan Maha Pemberi balasan. Di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain (demikian pula) langit; semuanya itu akan datang ke hadirat Allah yang Maha Esa dan Mahakuasa.”

Lebih lanjut perdebatan Ibn Rusyd vs Al-Gazali tentang penciptaan alam semesta silakan lihat sajian khusus dalam Oliver Leaman, alih bahasa: Amin Abdullah, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), cet. Ke-1, h. 53-86 dan juga Ahmad Daudy (ed.), Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1, h. 12-37

[46] Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy, (New York University Press, 1988), h. 79

[47] Harun Nasutian, op. cit., h. 49

[48] Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 124

[49] Ibid., h. 125

[50] tentang kebangkitan ini sudah tersiar sekurang kurangnya dua ribu tahun yang lalu. Yang menyatakan kebangkitan ini khususnya jasmani (sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakan saat itu), adalah nabi-nabi Bani Israil yang datang sesudah Nabi Musa. Tentang hal ini periksa A. Hanafi, op.cit., h. 183-184 dan juga Poerwantana, op. cit., h. 223

[51] Dewan Redaksi Ensiklopedi, op. cit., h. 166-167, dan juga Yunasril Ali, op. cit., h. 95

[52] Hasyimsyah, loc. cit., Ingatan kita kembali tertuju kepada sebuah argumen tentang mustahilnya kebangkitan jasmani khususnya jasmani duniawi. Tubuh yang telah hancur akan berproses dan berpindah-pindah dari satu mahkluk ke makhluk yang lain, terlebih jika kita mengambil contoh manuisa kanibal. Tentunya sangat susah untuk membangkitkan manusia secara utuh karena satu bagian manusa telah membentuk bagian tubuh manusia lain.

[53] Dewan Redaksi Ensiklopedi, loc.cit.,

[54] tentang tokoh penentang pemikiran Ibn Rusyd ini dapat dilihat dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati, dari Thales sampai James, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 1994), cet. Ke-4, h. 85-101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction