Jumat, 17 April 2009

JABATAN: ANTARA MADU DAN RACUN

Dalam menjalani hidup, manusia selalu dihadapkan pada pelbagai masalah. Tak terkecuali, sejumlah calon legislatif Pemilu 2009 ini, hatinya terombang-ambing. Mereka sudah bermimpi jadi pejabat, namun melihat tanda-tandanya, agaknya susah untuk jadi wakil rakyat. Berapa banyak energi dan biaya terbuang untuk meraih cita-citanya, hanya nasib untung belum berpihak padanya. Alhasil, depresi atau stress mudah menghinggapi hatinya yang sedang kelabu.

Sebenarnya, kalau kita mau berpikir jernih, keinginan menjadi wakil rakyat hendaknya dilakukan dengan ikhlas. Artinya, bila dipilih, syukur, kalau pun tidak, tetap syukur. Syukur yang pertama bermakna bahwa kita dianggap layak menjadi penyambung lidah rakyat yang yakin bahwa kita mampu melakukannya, bukan malah “ngemplang” rakyat dengan memperkaya diri sendiri. Syukur yang kedua berarti kita masih dilindungi Allah bahwa kita belum saatnya menjadi wakil rakyat yang tanggung jawabnya tidaklah ringan. Dengan demikian, jadi atau tidak, pikiran akan tetap sehat dan masih mampu tersenyum lebar.

Mengapa banyak orang ingin jadi wakil rakyat? Pertanyaan ini sering muncul di benak kita tatkala kita menyaksikan banyaknya gambar caleg yang bertebaran di sepanjang jalan semasa kampanye. Wajah dan postur tubuh dengan berbagai gaya bak foto model dengan balutan aneka warna menyiratkan adanya semangat yang tinggi untuk menjadi kontestan pemenang. Slogan “Pilihlah Aku” sepertinya diucapkan oleh setiap bibir caleg tersebut. Tak terlintas di wajahnya bahwa mereka akan dibebani oleh sebentuk kewajiban yang harus mereka laksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan hanya memikirkan income yang akan mereka terima.

Jabatan sebenarnya bukan untuk diperebutkan. Malah, sebenarnya orang harusnya takut, atau setidaknya khawatir jika diberi tanggung jawab. Pasalnya, tanggung jawab bukanlah hal untuk dipamerkan tapi untuk dilaksanakan. Nah, bila tidak mampu melaksanakan kewajiban padahal haknya sudah diberikan, apa tidak merasa bersalah? Apalagi, jika kemudian ketahuan korupsi dan dipidanakan. Tidak hanya diri sendiri yang susah, namun, sanak keluarga, kawan karib, dan tetangga juga ikut terkena getahnya. Jika sudah demikian, jabatan bukan lagi penyebab bahagia, tapi pemicu malapetaka. Anehnya, mengapa masih banyak saja orang mengejarnya hingga jatuh bangun? Inilah uniknya, satu sisi jabatan mampu mendongkrak popularitas, dan sisi yang lain, jabatan bisa menjadi bumerang.

Bagi kelompok yang mengejar jabatan, mereka beralasan bahwa jabatan akan menaikkan popularitas dan kekayaan. Dengan begitu, rasanya, mereka bukanlah sembarang orang yang hanya patut dipandang sebelah mata. Masyarakat harus menundukkan kepala saat berpapasan dengan senyum tersungging dan decak kekaguman. Pendeknya, jabatan adalah washilah untuk meraih kebahagiaan yang ‘hakiki duniawi’. Saat di puncak kekuasaan, tidak ada seorang pun yang boleh melawan keputusannya. Jadilah ia orang yang diagungkan dan akhirnya persis Fir’aun, ingin menyaingi Tuhan. Inilah fenomena kekuasaan yang benar-benar menyihir manusia.

Pada sisi lain, sekelompok orang sangat takut menjadi pemimpin. Berkhayal menjadi pemimpin adalah haram, atau setidaknya makruh. Apa sebab? Sejarah menunjukkan bahwa banyak orang yang terguling dan jatuh berantakan saat mereka menjadi pemimpin. Seseorang yang dikenal sebagai seorang ‘sufi’, ternyata ketika menjadi pemimpin, tidak kalah serakahnya dengan mereka yang bukan ‘sufi’. Bujukan setan yang lembut begitu mempesona sehingga batas-batas baik-buruk, halal-haram, atau amal baik-maksiat seringkali kabur. Jadilah seorang pemimpin yang awalnya peka terhadap masalah sosial terbenam dalam pengurusan harta yang terserak di mana-mana. Begitu pula, seseorang yang tak kenal minuman keras, klub malam, judi, dan prostistusi, akan mudah terjebak dalam dunia hitam tatkala menjadi pemimpin. Nah, dengan melihat gejala buruk itu, kelompok ini bersumpah untu menghindar dari pusaran kekuasaan.

Jalan tengah sebagai solusi adalah menjadi pemimpin yang arif tanpa harus memaksa orang mengangkatnya. Hatinya tulus untuk maju menjadi pemimpin dengan syarat tidak kecewa saat gagal atau terguling akan menyebabkan orang berjuang sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang harus diemban. Dengan begitu, pemimpin yang visioner, religius, dan ikhlas bekerja demi mewujudkan masyarakat yang tentram, adil, makmur, dan sejahtera akan menjadi pilihan terbaik. Tanpa itu, bisnis jabatan dengan money politic dan serangan fajar akan tetap marak di masyarakat. Alhasil, pemimpin yang terpilih akan menggunakan jabatannya untuk mengembalikan modal kampanyenya, baru memikirkan rakyatnya. Itu pun kalau sempat. Jika tidak, ia akan mencari jalan untuk menyelamatkan diri dari berbagai kebobrokan birokrasi dan kerusakan alam yang dibuatnya. Semoga Allah masih berkenan menunjukkan kepada bangsa ini pemimpin yang masih bening hati. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction