Selasa, 21 April 2009

KARTINI, MASIHKAH KINI BERARTI?

Bangsa ini termasuk paling ‘care’ dengan para pahlawannya. Salah satu yang selalu diperingati adalah RA Kartini, sang tokoh gerakan perempuan Indonesia. Semangatnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan patut dihargai dan diteladani. Meskipun usianya tak panjang, Kartini sepertinya akan dikenang lebih lama daripada rentang masa hidupnya. Kartini, isteri seorang adipati, memiliki keistimewaan yang tak selalu dimiliki oleh setiap pahlawan, bahkan sekaliber Sukarno. Kelebihannya adalah bahwa hari lahirnya menjadi tonggak sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Saat ini, gaung perempuan sederajat dengan laki-laki sudah menggema ke seluruh penjuru bumi, tak terkecuali indonesia. Anak laki-laki dan perempuan punya hak yang sama dalam hampir semua bidang kehidupan. Perbedaan laki-laki dan perempuan hanya terbatas pada kodrat alamiahnya. Para orang tua kini tidak lagi minder ketika anaknya lahir perempuan. Toh, para isteri dan ibu mereka juga perempuan. Alhasil, perempuan sekarang punya wilayah peran yang lebih luas dalam membangun negeri ini.
Hanya kemudian, apakah kemajuan perempuan masa kini sudah sesuai dengan keinginan Kartini saat ia memperjuangkan hak-hak perempuan? Bagi sebagian orang, prestasi perempuan sekarang sudah jauh melebihi dari harapan Kartini. Banyak perempuan memegang peran penting dalam berbagai bidang. Sebut saja, Siti Fadilah Sapari, Mutia Hatta, dan Sri Mulyani yang kini menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia Bersatu, mereka telah mampu berperan aktif dalam pembangunan. Kiprah mereka dalam beberapa hal justru lebih kentara daripada para menteri laki-laki. Hanya, sebagian yang lain juga berpikiran bahwa perempuan sekarang sudah kebablasan. Coba kita lihat, betapa banyak perempuan yang pakai pakaian mini dan ketat berjalan tanpa malu di berbagai tempat umum. Juga, banyak isteri dengan mudah menggugat cerai suaminya. Dengan landasan emansipasi wanita, mereka lebih senang hidup sendiri daripada capek-capek melayani laki-laki yang belum tentu setia. Fenomena apa ini?
Memang benar, perempuan butuh kemerdekaan. Perempuan perlu aktualisasi diri. Tapi, peran utama yang sifatnya kodrati hendaknya tetap dilaksanakan dengan sepenuh hati. Banyak perempuan yang menelantarkan anaknya demi karir, banyak perempuan yang rela jadi obyek (subyek?) kekerasan dan pornografi. Memang, nasib perempuan sedemikian ini tidak luput dari perbuatan laki-laki. Namun, jika perempuan memaksakan diri untuk seperti laki-laki, maka akibatnya justru keluarga dan anak-anak yang jadi korban.
Kemandirian perempuan pada satu sisi memang patut diacungi jempol. Mereka secara ekonomi dan intelektual tak jarang mengalahkan laki-laki. Tapi, coba lihat, keluarga yang tidak dapat menata peran laki-laki dan perempua dengan baik, pasti berantakan. Kejelian mengurus anak dan kasih sayang perempuan beda dengan para lelaki. Para ibu bisa menyusui sedangkan para bapak hanya memberi susu botol. Padahal dari sisi gizi, jelas, ASI jauh lebih pas ketimbang susu formula. Dengan demikian, bagi wanita karir, hendaknya memperhatikan keseimbangan kerja sehingga dapat menjaga keharmonisan rumah tangganya.
Kalau kemudian peringatan hari Kartini hanya digunakan untuk simbul kebebasan total perempuan, nampaknya Kartini di alam sana hanya bisa menangis. Kartini tidak ingin hancurnya rumah tangga hanya gara-gara perempuan lebih asyik mengejar karir ketimbang mengurus keluarga. Kartini tidak ingin perempuan begitu berani melawan laki-laki sebagai tindakan balas dendam atas kekejaman laki-laki selama ini. Kartini hanya ingin agar para perempuan memiliki harga diri dan berhak maju bersama kaum lelaki sehingga mereka tidak menjadi warganegara kelas dua. Kemitrasejajaran, begitu bahasa yang tepat untuk menggambarkan hati Kartini. Dengan kerjasama yang baik, saling asah, saling, asih, dan saling asuh antara perempuan dan laki-laki, maka akan lahir masyarakat yang kuat, sejahtera, dan maju.
Marilah kita sedikit tengok kehidupan di barat yang notabene menjadi kiblat para feminis. Di sana, kebobrokan moral kian mengkhawatirkan. Perempuan bebas bergaul dengan lelaki mana saja dan berapa saja, bahkan untuk kehidupan pribadinya sekalipun. Mereka keluar masuk rumah dengan gonta-ganti pasangan setiap hari tanpa ada yang melarang. Orang tua tidak bisa membatasi hak asasinya. Mereka tidak perlu menikah dan tidak perlu membentuk rumah tangga. Mereka juga enggan hamil dan mengasuh anak. Lalu, kalau demikian, apakah ini yang dimaksud dengan kemerdekaan perempuan?
Kartini jelas tidak demikian. Ia ingin perempuan tetap menjadi seorang isteri dan ibu. Perempuan tetap bekerjasama dengan suami dalam pembinaan rumah tangga. Perempuan harus mencari ilmu dan tetap meperhatikan batas-batas kesopanan. Kalaulah gerakan perempuan Indonesia masih juga berusaha menjadikan perempuan Indonesia seperti perempuan barat, lupakan saja Kartini. Tidak perlu perayaan setiap tahun, tidak perlu capek-capek pakai kebaya dan sanggul. Karena, Kartini hanya sekedar simbul, Kartini hanya bungkus, tapi dalamnya adalah penghancuran moralitas perempuan oleh kaum perempuan sendiri. Semoga renungan ini dapat menggugah hati kita untuk lebih jernih menangkap semangat ibu kita Kartini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction