Senin, 20 April 2009

YUSUF QARDAWI: PEMBAHARU FIKIH ISLAM KONTEMPORER

I. PENGANTAR WACANA

Islam merupakan agama yang terbuka seiring dengan “fitrah”nya yang dipersiapkan untuk semua manusia di segala tempat dan zaman. Maka sangatlah wajar jikalau wilayah fikih--sebagai konkretisasi syariat yang memang membuka ruang berijtihad--menjadi bagian yang paling dinamis.

Bila kita telaah lebih lanjut, corak warna fikih Islam dari waktu ke waktu kiranya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori; golongan salaf (tradisional) dan golongan khalaf (maju/modern). Tolok ukur pembagian ini berdasarkan kompleksitas persoalan yang dihadapi masing-masing kelompok. Golongan pertama dapat diwakili oleh para imam madhab, seperti Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Mereka adalah “bintang-bintang” pada zamannya. Mereka telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk perkembangan dan kemajuan hukum Islam.

Akan tetapi setelah laju zaman yang menggelinding dan terus menyisakan sejumlah persoalan baru sehingga membutuhkan pemecahan segera, maka muncullah pada pembaharu hukum Islam yang lebih luwes dan cenderung “berani” meskipun tetap mempertimbangkan ide yang dicetuskan para pendahulunya. Salah satu tokoh yang kini sedang “berkibar” dengan berbagai karya besarnya yang tersebar dalam banyak bidang adalah Yusuf Qardawi.

Magnum opus pakar fikih ini banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Fikih Zakat misalnya. Alasan yang sering dikemukakan menanggapi “laris”nya pemikiran tokoh kita ini adalah kesesuaian latar belakang penulis dengan kondisi Indonesia, sehingga lontaran ide-idenya mudah dicerna dan diterapkan di Indonesia, selain memang hukum Islam kini membutuhkan sekali penyegaran dan aktualisasi.

Institusi ijtihad sendiri dipegangi oleh tiga kelompok besar di antara para ulama fikih. Kelompok pertama, menolak ijtihad secara mutlak, dengan alasan, bahwa produk ulama mujtahid salaf telah mampu menjawab setiap tantangan zaman dan masalah-masalah kontemporer dewasa ini. Tinggal bagaimana merelevansikan pemikiran aktualnya, untuk kondisi dan situasi saat ini. Kelompok pertama ini lebih memilih taklid dan mengikuti pola pandang bahwa aktifitas fikih selalu disandarkan pada imam-imam mujtahid.

Kelompok kedua, justru menganjurkan ijtihad dan secara ekstrim menolak taklid. Kelompok ulama ini lebih puritan, namun, sikapnya yang secara mentah-mentah menolak taklid, mengakibatkan munculnya sikap gegabah dalam melakukan ijtihad. Mereka tidak mau menengok kembali khazanah pemikiran ulama salaf, dengan dalih cukup mengambil dasar al-Qur’an dan hadis, untuk memproduksi kebutuhan fikih yang berkembang. Karena itu pada kelompok ini, bermunculan para “mujtahid baru” yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembaharu Islam, yang secara kritis sering mereduksi pemikiran-pemikiran mapan para ulama fikih itu sendiri. Sayangnya, sikap ekstrim ini membawa pengeroposan dalam khazanah intelektual Islam, mengingat prasyarat-prasyarat ijtihad yang seharusnya dipenuhi oleh seorang mujtahid diabaikan begitu saja.

Kelompok ketiga, memilih sikap moderat. Para pakar fikih yang mengambil jalan tengah ini, tetap bersemangat agar fikih Islam senantiasa aktual dengan zaman. Tetapi tidak melepaskan dataran tempat berpijak para ulama pendahulunya (salafus shalih). Sebab apa yang telah dicapai ulama salaf itu, dalam skala global telah memenuhi tuntutan psikologis dan kebutuhan yurisprudensi pada umumnya. Hanya saja, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut lebih jauh fungsi-fungsi yurisprudensi untuk menjawab tantangan yang dinamis. Kelompok ketiga ini memberikan respon terhadap masalah-masalah aktual dengan metode-metode ijtihad, dengan cara memadukan metode ulama mujtahid dengan metode penelitian modern, bahkan secara komprehensif memberlakukan apa yang disebut sebagai ijtihad jama’i (kolektif).[1] Yusuf Qardhawi tampaknya berdiri di barisan kelompok ini.

Qardhawi, sambil menyitir al-Hujwi al-Fasi pengarang al-fikr al-sami fi tarikh al-fiqh al-Islami, mengatakan bahwasanya materi-materi ijtihad pada zaman sekarang ini lebih mudah dibandingkan pada zaman ulama terdahulu. Ijtihad pada abad 14 H sekarang lebih mudah dibanding ijtihad yang terjadi pada zaman para ulama salaf. Karena pakar di zaman sekarang ini memberikan perhatian yang sangat serius kepada persoalan cetak-mencetakan dan berhasil menerbitkan buku-buku yang berkaitan dengan ijtihad. Dengan demikian, kita hanya tinggal “berpangku tangan”, sementara di hadapan kita bertumpuk aneka ragam buku yang kita butuhkan.[2] Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kemudian pada zaman sekarang akan muncul mujtahid mutlak.[3]

II. PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah Al-Qardāwī disingkat Yusuf Al-Qardāwī,[4] dan dalam tulisan ini akan disebut Qardāwī. Beliau dilahirkan di desa Shaftu Turab, daerah mahallah Al Kubra, propinsi Al-garbiyah, Republik Arab Mesir, pada tanggal 9 September 1926 dari keluarga yang taat beragama dan sederhana.[5]

Ayahnya bekerja sebagai petani dan telah wafat saat usia Qardawi baru menginjak dua tahun. Kemudian ia diasuh sang paman dengan penuh kasih sayang layaknya seorang ayah.[6]

Ketika mencapai umur lima tahun, Qardāwī kecil masuk "Kuttab" di desanya untuk belajar membaca dan menghafal Alquran. Dan ketika berumur tujuh tahun ia masuk madrasah ilzamiyah dibawah Kementrian Pendidikan untuk belajar berhitung, taqwim, sejarah, kesehatan dan lain-lain.

Qardāwī menyempurnakan hafalan Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun, dengan bacaan bertajwid.[7] Karena kemahirannya dalam bidang al-Qur’an pada masa remajanya, ia justru dipanggil dangan nama “Syaikh Qardawi” oleh orang di sekitar kampungnya, bahkan ia selalu ditunjuk menjadi imam shalat, terutama shalat yang jahriyyah.[8]

Ketika tamat dari madrasah ilzamiyah, Qardāwī bercita-cita menjadi seorang ulama pada suatu hari nanti, akan tetapi pamannya ragu-ragu karena beliau tahu bahwa jalan mencari ilmu penuh dengan tantangan, kesukaran, dan membutuhkan masa yang panjang.

Qardāwī kemudian masuk ma’had agama "Thantha" yang dirampungkan selama empat tahun lalu melanjutkan ke ma’had tsanawiyyah (menengah) selama lima tahun. Dari sinilah kemudian Qardāwī berangkat ke universitas Al-Azhar Kairo dan belajar di Fakultas Ushuluddin mengambil bidang studi agama. Qardāwī mendapatkan ijazah Lc (S1) pada tahun 1953 dan berhasil menyabet peringkat pertama di antara 500 mahasiswa tiga fakultas di Universitas tersebut. Lalu ia masuk spesialis mengajar di Fakultas Bahasa Arab dan mendapatkan ijazah MA (S2) serta ijazah mengajar.[9]

Kemudian pada tahun 1957, ia masuk Ma’had al-Buhus wa al-Dirasat al-‘Arabiyyah al-‘Aliyah (Institut Pembahasan dan Pengkajian Arab Tertinggi) di bawah Universitas Negara-negara Arab dan ia memperoleh Diploma tinggi di bidang bahasa dan sastra.[10]

Namun pada kesempatan yang sama, Qardāwī mengikuti kuliah di Fakultas Ushuluddin dengan mengambil bidang studi al-Qur’ān dan As-sunnah, dan selesai tahun 1960 melalui suatu ujian yang cukup berat. Terbukti hanya dia yang berhasil lulus ketika itu. Selanjutnya Qardāwī meneruskan pendidikannya pada program Doktoral dengan desertasi Al-Zakat wa Asaruha fi Halli Masyakili al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Solusi Problema Sosial Kemasyarakatan). Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di depan guru besar al-Azhar dengan predikat Cumlaude.[11]

Dengan melihat latar belakang pendidikannya, sangatlah pantas jika kemudian Qardāwī dikategorikan sebagai mujtahid modern.

B. Karir dan Karya

Perjalanan karir Qardāwī secara ringkas dapat disajikan sebagai berikut. (1.) Dekan Fakultas Syariah dan Studi Islam di Universitas Qatar (2.) Direktur Pendiri Pusat Kajian Sunnah dan Sirah di Universitas Qatar (3.) Anggota Lembaga Tertinggi dalam Fatwa dan Pengawasan Syara’ di Persatuan Bank Islam Internasional (4.) Pakar dalam Lembaga Fikih Islam yang berada di Organisasi Konferensi Islam I (5.) Anggota Pendiri Yayasan Kebajikan Islam Internasional (6.) Anggota Majelis Pengembangan Da’wah Islamiyah di Afrika.[12]

Di antara buku karangan Qardāwī yang sangat terkenal dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Fiqhu Al-Zakat[13], Hudal Islam; Fatawa Mu’asirah,[14] Al-Khasais al-‘ammah li al-Islam[15] Madkhal li Ma’rifati al-Islam,[16] al-Imam al- Ghazali,[17] Al-Riyasah Al-Syari’ah,[18] dan Min Fiqh Al-Daulah fi al-Islam[19]

Buku-buku beliau yang mencakup banyak bidang sangat berbobot dan selalu menjadi rujukan dalam forum-forum ilmiah di beberapa negara. Hal ini menunjukkan bahwa Qardāwī telah melekat di hati para ilmuwan muslim dunia.

C. Metode Qardawi Tentang Ijtihad

Qardawi sangat menekankan peran penting ijtihad pada masa sekarang.[20] Dalam bukunya yang berjudul “Ijtihad Kontemporer”, Qardhawi memberikan tawaran tiga alternatif dalam berijtihad, yakni ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad integrasi antara keduanya.

1. Ijtihad Intiqa’i atau Tarjih

Yaitu memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada khazanah fikih Islam yang penuh dangan fatwa dan keputusan hukum [21]

Ijtihad yang diserukan di sini meliputi pengadaan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat ulama, meneliti kembali dalil-dalil yang dijadikan sandaran, sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat dalil dan alasannya sesuai dengan kaidah tarjih.

Kaidah tarjih banyak ragamnya, di antaranya : hendaknya pendapat itu mempunyai relevansi dengan kehidupan sekarang, lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara’, kemaslahatan manusia, dan menolak bahaya.[22]

Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern mazhab tertentu seperti Syafi’iyyah, Malikiyyah dan lain-lain. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam mazhab baik beraliran Sunni atau tidak. Jadi sifatnya lintas mazhab.[23]

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Setidaknya, menurut Qardawi ada 3 hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan dan kebutuhan zaman.[24]

Contoh Ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin menikahkan anak gadis.

Golongan Syafi’i, Maliki, dan Mayoritas golongan Hanbali berpendapat, sesungguhnya orang tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah aqil balig untuk menikah dengan calon suami yang dikehendaki, walaupun tanpa persetujuan si gadis. Alasan yang digunakan adalah orang tua lebih tahu kemaslahatan si anak.

Barang kali cara sedemikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada umur di mana seorang gadis belum mengenal sedikitpun kondisi dan latar belakang calon suaminya. Sedangkan sekarang di zaman moderen, para wanita mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini.

Dan akhirnya, hasil dari ijtihad tarjih ini adalah mengambil pendapat Abu Hanifah, yakni melibatkan urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita dan mensyaratkan atas persetujuan dan izinnya.[25] Dengan demikian ijtihad tarjih dapat memberikan nafas baru dalam hukum Islam kontemporer.

2. Ijtihad Insya’i

Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pendapat baru dalam masalah itu yang belum didapat dalam pendapat ulama salaf.

Boleh juga, ketika para pakar fikih terdahulu berselisih sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.[26]

Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan diketahui ulama terdahulu dan belum pernah terjadi pada masa mereka. Kalaupun mengenalnya tentu masih dalam sekala kecil yang belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya.

Seperti contoh: pendapat seorang mufti Mesir, Syaikh M. Bakhit Al-Muti’i dalam artikel Al-Qaul Al-Kafi fi Ibahati al-Taswir Al-Fotografi (Pendapat yang cukup tentang kebolehan Fotografi) beliau berpendapat bahwa berfoto itu dibolehkan. Sebab, dilarangnya melukis karena menyerupai penciptaan Allah SWT. Sedangkan foto itu sama sekali tidak menyerupai makhluk Allah, sebaliknya merupakan bayangan diri sendiri yang terefleksikan pada kertas, seperti halnya pemantulan bayangan pada kaca.[27]

3. Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i

Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad integratif antara ijtihad intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.

Contoh: Masalah Abortus

Lajnah fatwa Kuwait telah mengadakan seleksi terhadap pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus menambahkan unsur-unsur kreatif baru yang dituntut oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran modern.

Fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 29 September 1984, berisi :

‘Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seseorang wanita yang telah berumur genap 120 hari, semenjak berbentuk. Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seseorang kecuali untuk menyelamatkan kehidupan si wanita (ibu) dari marabahaya yang ditimbulkan oleh kandungannya ini”.

Seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua belah pihak, suami dan istri, sebelum kandungan itu genap berusia 40 hari. Apabila usia kandungan sudah melewati 40 hari dan belum 120 hari, maka tidak diperbolehkan abortus kecuali :

a. Bila kandungan tetap dipertahankan, maka akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan bagi si ibu itu.

  1. Bila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang bakal lahir terkena cacat badan atau kurang sehat akalnya, yang keduanya tidak mungkin disembuhkan.[28]

Contoh lain dalam konteks ke-Indonesiaan menurut hemat penulis adalah adanya UU no 1 tahun 1974 yang antara lain mengatur tentang jatuhnya talak yang diakui apabila diucapkan di depan pengadilan agama.[29] Dalam literatur fikih pada umumnya menyatakan bahwa talak dapat jatuh kapan saja tanpa disyaratkan pada lembaga tertentu. Demi menjaga hak-hak istri dan kelangsungan hidupnya, maka ditetapkan bahwa talak baru dianggap sah jika diucapkan di depan sidang pengadilan. Jadi walau seribu kalipun ucapan talak di luar pengadilan, niscaya tidak berimplikasi hukum sama sekali.

D. Kode Etik Mujtahid

Berikut ini beberapa aturan dan ketentuan pokok untuk melakukan ijtihad kontemporer.

1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan

Perlu sekali lagi diungkapkan, bahwa ijtihad versi ushuliyyun adalah mencurahkan segenap potensi dan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum Islam dengan cara istinbath (pengambilan kesimpulan hukum). Dengan demikian tidak ada ijtihad kecuali setelah mencurahkan segenap kemampuan, dalam arti mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mengikuti dalil-dalil dan meneliti dalil-dalil dzanni dan menjelaskan kedudukan dalil-dalil tersebut, lalu membandingkannya apabila terjadi pertentangan, dengan menggunakan kaidah-kaidah ta’adul dan tarjih.

Dengan demikian, tidaklah dianggap benar, ijtihad orang-orang yang tergesa-gesa dalam mengeluarkan fatwa, sehingga bisa jadi fatwa tersebut bertentangan dengan nash al-Qur’an dan sunah rasulillah.[30]

2. Tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang qath’i

Kita tidak boleh membuka pintu ijtihad dalam hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an yang qath’i seperti kewajiban puasa bagi umat Islam, haramnya minuman keras, daging babi, makan riba, kewajiban potong tangan pencuri (yang memenuhi syarat), dan juga pembagian harta warisan kepada anak laki-laki dua kali lebih besar dari anak perempuan (perlu diperhatikan, ini adalah pendapat Qardhawi). Begitu pula hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadis, yakni hukum hukum yang telah disepakati oleh umat Islam dan merupakan hal-hal yang harus diketahui dengan pasti dalam agama, sehingga hukum itu menjadi tiang kesatuan pemikiran dan perilaku umat.[31]

3. Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath’i

Kita harus tetap menjaga urutan tingkat hukum–hukum sebagaimana adanya. Hukum yang qath’i harus tetap dalam posisinya yang qath’i, begitu pula hukum yang dzanni. Kita tidak boleh mengubah hukum atau nash yang qath’i menjadi nash yang dzanni atau mengubah hukum dzanni qath’i.[32] Implikasi positif dari pelarangan menetapkan hukum dzanni menjadi hukum menjadi qath’i adalah kita mempunyai peluang untuk berbeda pendapat dengan ulama pendahulu kita.

4. Menghubungkan antara fikih dan hadis

Kita wajib membentangkan jembatan penghubung antara fikih dan hadis sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara aliran fikih dan aliran hadis. Kita dapat menyaksikan bahwa banyak orang yang menggeluti hadis namun kurang memperhatikan kajian-kajian masalah fikih dan ushul fikih. Mereka kurang berkonsentrasi untuk melihat dan menganalisa illat-illat hukum, kaidah-kaidah syariat Islam dan tujuan-tujuannya. Padahal masalah fikih dan ushul fikih merupakan wilayah yang lazim untuk menumbuhkan benih-benih ijtihad dan menghantarkannya sampai pada tujuan akhir.

Sebaliknya kita mendapatkan banyak orang yang belajar dan menekuni masalah fikih dan ushul fikih, tapi nampak lemah dalam hadis dan ilmu hadis. Sehingga, terkadang mereka menggunakan dalil dengan hadis-hadis yang lemah atau hadis-hadis yang tidak memiliki dasar sama sekali. Bahkan tak jarang mereka menolak beberapa hadis, padahal hadis-hadis tersebut shahih dan muttafaq alaih.

Sebenarnya keluhan adanya pemisahan antara fikih dan hadis ini merupakan keluhan lama, dan perasaan perlunya diadakan usaha untuk menyatukan antara fikih dan hadis merupakan hal yang memiliki akar pokok yang lama dalam khazanah keislaman.[33]

5. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita

Ijtihad bukan berarti upaya memberikan legitimasi terhadap realita menurut apa adanya, kemudian menarik keluar nash-nash dari ruang lingkup pengertiannya guna mendukung realita.

Allah telah menjadikan kita sebagai umat terbaik agar kita menjadi penentu sejarah umat manusia, bukan pengekor umat lain. Kita dilarang untuk menjadi “legitimator” realita dan mencari-cari alasan untuk membenarkan realita itu dengan dalil-dalil syara’. Yang demikian ini jelas tidak dapat diterima.[34]

6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat

Seyogyanya, kita tidak menjadikan sebagian besar kemampuan kita untuk menentang setiap hal yang baru, walaupun hal baru itu belum jelas manfaatnya. Juga kita tidak boleh bersikap menerima setiap hal asing, walaupun itu tampak baik. Semestinya kita harus membedakan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak.

Atas dasar itu, kita boleh mengambil sistem-sistem produk mana saja, Timur atau Barat, selama sistem tersebut tidak bertentangan dengan akidah dan syariat Islam, dan selama sistem tersebut dapat merealisasikan kemaslahatan untuk masyarakat kita. Lalu, kita warnai dengan warna Islam. Kita beri spirit Islam ke dalamnya, sehingga sistem itu menjadi satu bagian dari sistem Islam, sekaligus menghilangkan ciri-ciri yang pertama, sebagaimana yang kita lihat umat Islam mengadopsi ilmu dari bangsa-bangsa lain pada zaman keemasan Islam.[35]

7. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya

Kita tidak boleh lupa bahwa kita berada pada abd XV H bukan abad X H atau sebelumnya. Kita memiliki banyak kebutuhan dan akan menghadapi problema yang belum pernah dihadapi oleh orang-orang sebelum kita, baik ulama salaf maupun khalaf. Kita dituntut untuk berijtihad berkenaan dengan masalah-masalah kita, bukannya mereka yang telah meninggal beberapa abad lampau harus berijtihad bagi kebutuhan zaman kita. Sekiranya mereka menyaksikan berbagai persoalan yang kita hadapi saat ini, niscaya mereka akan meninjau kembali pendapat mereka. Sekaligus, tidak mustahil, mereka akan mengubah sebagian besar ijtihad mereka. Karena pendapat-pendapat mereka itu disampaikan pada zaman di mana mereka hidup saat itu, bukan untuk zaman kita sekarang ini.

Saat ini, segala sesuatu telah mengalami perubahan begitu pesat pasca masa revolusi industri masa kemajuan teknologi, masa perang bintang, abad komputer dan revolusi biologi, yang kesemuanya itu hampir-hampir mengubah masa depan manusia.[36] Untuk itu harus imbang dalam memposisikan hukum Islam di tengah perubahan zaman.

8. Tranformasi menuju ijtihad kolektif (jama’i)

Selayaknya, dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang besar, tidak cukup dengan ijtihad individual (fardi). Akan tetapi, hendaknya melakukan transformasi dari ijtihad fardiijtihad jama’i, dimana ilmuan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak kepada umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia. Sebab, pendapat orang banyak itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perorangan walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi.

Ijtihad kolektif semacam ini dapat dalam bentuk lembaga ilmiah Islam internasional, yang menghimpun semua orang berkemampuan tinggi dan para pakar fikih Islam yang ada di dunia, tanpa melihat perbedaan wilayah, mazhab dan kebangsaan. Akan tetapi, seseorang dapat dicalonkan untuk menjadi anggota pada lembaga tersebut semata-mata dilihat dari segi kepakarannya dalam bidang fikih dan kewara’annya. Dan seharusnya pula lembaga tersebut bersifat independen, bebas tidak terikat oleh apapun.

Ijtihad kolektif ini tidak berarti membunuh dan tidak memerlukan ijtihad individu. Sebab, yang menerangi jalan menuju kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinal yang diajukan oleh setiap mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan dibahas, maka keluarkan suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma’ (kesepakatan bersama peserta) maupun pendapat mayoritas.[37]

9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid

Agar ijtihad itu berhasil, maka kita harus berlapang dada atas kesalahan yang dilakukan seorang mujtahid. Tidak ada orang yang terpelihara dari dosa dan kesalahan selain Nabi saw. Hendaknya kita berlapang ada untuk memaafkan kekeliruan itu, sehingga kita tidak perlu bersikap keras terhadap orang yang keliru dalam berijtihad, bahkan menuduh dia sebagai orang sesat dan keluar dari Islam atau tuduhan sejenisnya.

Apabila kita berprasangka bahwa seorang mujtahid keliru, dan kekeliruan itu jelas terbukti di hadapan kita secara meyakinkan, maka kekeliruan itu dapat ditoleransi jika memenuhi dua syarat ;

  1. ia harus menguasai semua perangkat yang dibutuhkan ijtihad.
  2. Hendaknya ia harus bersikap adil dan berperilaku yang diridhai Allah. Bila terpenuhi, maka kekeliruan dalam berijtihad itu harus dimaafkan dan bahkan ia berhak atas satu pahala.[38]

E. Beberapa Penyimpangan Ijtihad Moderen

1. Mengabaikan Nash

Faktor pertama yang menyebabkan kekeliruan ijtihad kontemporer adalah mengabaikan nash-nash yang wajib diikuti, baik nash-nash al-Qur’an maupun sunnah rasulullah saw.

Adapun ijtihad berdasarkan pendapat semata sebelum meneliti terlebih dahulu terhadap nash merupakan suatu kekeliruan. Bahkan merupakan kesalahan fatal bila kita meninggalkan nash yang jelas terjaga dari kesalahan, kemudian lari mengejar pendapat yang tidak lepas dari kesalahan. Maka wajar bila ulama berpendapat, “Tidak boleh berijtihad terhadap masalah yang ada nashnya.” Maksudnya nash yang pasti dan jelas indikasi hukumnya.

Sebab-sebab meninggalkan nash antara lain dikarenakan oleh ketidakmengertian terhadap nash atau memang sengaja mengabaikan dan melupakan nash.

Contoh yang dapat dipaparkan di sini adalah tentang fatwa Peradilan Tinggi Islam di Bahrain tentang anak temuan. Fatwa itu membolehkan mengadopsi anak temuan sekaligus menggabungkan anak itu kepada nasabnya. Dengan demikian, si anak temuan itu menjadi anaknya yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana anak kandung.[39] Keputusan ini bertentangan dengan nash al-Qur’an surat al-Ahzab: 4-5.[40]

2. Salah Memahami Nash atau menyimpang dari konteksnya

Kesalahan ijtihad kontemporer terkadang tidak disebabkan oleh ketidakpahaman akan nash atau mengabaikannya, tapi dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pemahaman dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut. Semisal memandang nash bersifat khusus, padahal sebenarnya bersifat umum, atau mengira muqayyad padahal sebetulnya mutlak. Barang kali hal ini terdorong oleh tindakan yang tergesa-gesa dalam mengambil pengertian nash, sebelum didakan kajian yang cukup memadai, mengadakan studi komparatif yang layak, atau mencurahkan segala kemampuan untuk mengkaji.

Selain itu, kemungkinan juga karena didorong oleh kemauan hawa nafsu pribadi atau pihak lain yang berkepentingan. Terkadang pula, seorang mujtahid terpengaruh oleh kenyataan yang ada dan dia berusaha membenarkannya, baik disadari atau tidak. Terutama bagi mereka yang kagum terhadap peradaban dan segala yang datang dari Barat.

Misalnya, Perintah mendera pelaku zina sebanyak seratus kali (QS. Al-Nur: 2 [41]) dipahami sebagai perintah yang menunjukkan mubah, bukan wajib.[42] Penetapan hukum “mubah” bisa jadi disebabkan maraknya perlindungan HAM yang kini masih bergelora.

3. Kontra terhadap ijma yang dikukuhkan

Pelanggaran berikutnya dapat disebabkan oleh pengabaian terhadap ijma’ ulama atau memang tidak mengerti tentang kesepakatan ulama tersebut, atau memang sengaja kontra terhadap ijma’. Padahal para pakar ushul fikih, semuanya menetapkan bahwa di antara syarat ijtihad yang disepakati adalah harus mengetahui kedudukan ijma’.

Qardhawi membatasi ijma’ ini dengan ijma’ yang diyakini, karena kahwatir timbulnya pengakuan beberapa ijma’ dalam sejumlah persoalan yang jelas-jelas masih diperselisihkan di kalangan ulama’, sebagaimana yang dibuktikan oleh setiap orang yang menelaah dan meneliti sumber-sumber yang dipegang semua madhab para ulama.

Contoh :

Berkenaan dengan pendapat yang membolehkan seorang muslimat menikah dengan laki-laki ahlul kitab pada masa kini, sebagaimana ijma’ ulama’ yang membolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Padahal di sana terdapat perbedaan yang sangat menonjol. Seorang laki-laki muslim tetap akan mengakui asal agama wanita ahlul kitab, karena ia akan menghormatinya, menjaga haknya dan tidak akan mengusik akidahnya. Sementara laki-laki ahlul kitab, ia tidak akan mengakui agama yang dianut istrinya yang muslimah, tidak pula mengakui kitab-Nya dan rasul-Nya. Bagaimana mungkin seorang muslimat dapat hidup di bawah naungan laki-laki yang tidak mau memandang segala hak yang dimilikinya?[43]

4. Qiyas tidak pada tempatnya

Kesalahan yang mungkin terjadi adalah analog yang merusak (qiyas fasid), seperti mengkiyaskan nash yang bersifat qath’i kepada nash yang bersifat dzanni. Atau mengkiyaskan perkara-perkara yang bersifat ibadat ritual (ta’abud) murni dengan perkara-perkara adat-stiadat dan muamalat, dalam memandang hukum dan tujuan-tujuannya, serta pengambilan konklusi illat-illatnya berdasarkan akal pikiran, yang melahirkan hukum. Orang-orang Yahudi dahulu membolehkan praktik riba karena mengkiyaskannya dengan jual beli (al-Baqarah:275)

Contoh: Ada ulama yang membolehkan pihak pemerintah untuk meminjam uang dari rakyatnya dengan diberi keuntungan yang bersifat riba. Ia berpendapat bahwa yang demikian itu menggunakan dalil qiyas, bahwa tidak ada riba antara orang tua dan anaknya. Dengan demikian, tidak ada riba antara pihak pemerintah dan rakyat.[44] Kiyas semacam ini hanya bertujuan mencari hilah guna mendapat perlindungan hukum.

5. Kealpaan terhadap realitas zaman

Kesalahan berikutnya adalah manusia mudah terbawa hanyut dalam arus realita yang ada dan sikap mereka yang menyerah total kepada aliran-aliran moderen, sekalipun aliran-lairan tersebut suatu hal yang asing bagi kaum muslimin bahkan bertentangan dengan Islam. Mereka berusaha untuk melegitimasi realita tersebut dengan memberikan sandaran hukum yang diambilnya dari Islam dengan cara penyelewengan dan paksaan.

Apapun penyebabnya yang timbul, karena mereka mengabaikan semangat (jiwa) zaman, kebudayaan dan peristiwa yang terjadi pada zaman itu serta mengambil apa-apa yang berputar pada zaman itu, akan membawa kekeliruan bagi seorang mujtahid dalam ijtihadnya tentang masalah-masalah yang terjadi pada zaman moderen ini.

Contoh : ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa menyembelih binatang dengan mempergunakan alat mesin potong adalah haram. Mereka mengharuskan agar binatang itu disembelih dengan memakai tangan dan pisau seperti biasa.

Barangkali ijtihad ini sesuai untuk masyarakat yang masih awam dan jumlah penduduknya sedikit dan konsumsi terhadap produk hewan juga sedikit. Tetapi dalam masyarakat besar dimana produksi hewan mencapai ratusan ribu ekor yang bertujuan untuk konsumen lokal maupun ekspor sudah barang tentu memerlukan mesin potong yang dapat menggantikan kedudukan tenaga manusia sehingga dapat menghemat tenaga dan waktu.

Contoh lain adalah larangan bayi tabung karena takut terjadi percampuran nasab. Padahal dalam prakteknya tidak demikian.[45]

  1. Berlebih-lebihan mengungkapkan Kepentingan Umum walaupun harus mengabaikan nash

Pada dasarnya semua yang telah ditetapkan oleh Allah selalu mengandung maslahat. Tapi kadang manusia ingin seenaknya sendiri untuk menciptakan suatu kebiasan baru dengan dalih kemaslahatan. Contoh dibolehkannya bunga bank, pemindahan shalat Jum’at pada hari Ahad (demi mencari waktu longgar), dan larangan poligami.[46]

F. Contoh Ijtihad Qardhawi

1. Cara menentukan Zakat Investasi

Dalam masalah ini, langkah pertama yang dilakukan Qardawi adalah memaparkan dua jenis kekayaan yang mengalami pertumbuhan sehingga wajib zakat, yaitu:

a) Kekayaan yang dipungut zakatnya dari modal dan keuntungan, seperti zakat ternak dan barang dagangan yang telah dimiliki selama satu tahun, sebesar 2,5%

b) Kekayaan yang dipungut zakatnya dari hasil investasi murni atau keuntungannya saja, seperti zakat pertanian tanpa menunggu satu tahun. Besar zakatnya adalah 10% atau 5%.

Bagaimana cara menentukan zakat investasi gedung-gedung dan sejenisnya ?

Pertama, Dinilai dan disamakan zakatnya dengan zakat perdagangan. Menurut pendapat ini pemilik gedung yang dinvestasikan dan juga transportasi diperlakukan seperti pemilik barang dagangan. Berdasarkan hal itu, gedung harus dinilai harganya setiap tahun, kemudian ditambahkan keuntungannya yang ada, baru dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%, seperti barang dagangan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Aqil (Mazhab Hanbali) dan Mazhab Hadawiyah.

Menurut Abu Wafa Ibnu Aqil, zakat investasi ini harus dianalogikan dengan penyewaan emas dan perak sebagai hiasan yang pada mulanya jika dipakai sendiri tidak diwajibkan zakat. Pendapat ini diperkuat juga oleh Ibn Qayyim dan juga Ibn Rusyd yang mendasarkan pendapatnya dengan alasan bertumbuh. [47]

Dengan demikian pemilik gedung, bus, kapal terbang, hotel, atau barang apapun yang disewakan sebagaimana pendapat Ibnu Aqil, baik berbentuk pribadi maupun perusahaan harus menghitung harga barang-barangnya kemudian ditambahkan kepada kapital berupa uang kontan dan piutang yang diharapkan kembali, persis seperti yang dikerjakan seorang pedagang terhadap dagangannya. Setelah itu baru dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.[48] Perhitungan semacam ini tentunya membutuhkan kejujuran dan ketelitian.

Sedangkan Mazhab Hadawiyah, bahwa zakat wajib atas investasi karena investasi itu sendiri, tanpa terlalu mempersoalkan bertumbuh ataupun tidaknya suatu barang.

Kedua, Dizakatkan Labanya sebagai Zakat Hasil Tanaman dan Buah-buahan

Kelompok ini dimotori ulama’ kontemporer (muta’akhirin) semisal Abu Zahrah, Abd. Wahab Khalaf, dan Abd. Rahman Hasan.

Gedung-gedung yang digunakan untuk investasi bukan untuk tempat tinggal pribadi dikategorikan ke dalam kekayaan yang bertumbuh, bukan kekayaan kebutuhan pokok. Begitu pula alat transportasi yang dijadikan sebagai angkutan umum. Gedung maupun alat transportasi sekarang ini sangat mungkin memberikan keuntungan besar. Adalah adil jika kemudian gedung ataupun angkutan yang diinvestasikan itu dikenai zakat sebagaimana tanaman dan buah-buahan sebesar 5% atau 10%.

Namun dalam pendapat ini ternyata muncul pembedaan antara benda yang bergerak dan benda tak bergerak. Untuk jenis benda bergerak seperti halnya alat angkutan umum maka analoginya adalah kepada modal dengan prosentase zakat sebesar 2,5%. Sedangkan gedung yang dianggap benda tak bergerak, besarnya zakat yang diwajibkan adalah 5% hingga 10 %.[49] Penetapan besarnya zakat semacam ini diakui cukup merepotkan ditambah lagi persoalan kapan benda tetap itu dikenai zakat 5% dan kapan pula harus 10%. Tapi uniknya justru pendapat inilah yang memperoleh perhatian besar Qardawi.

2. Nisab Zakat Investasi

Perdebatan apakah nisab zakat investasi ini dianalogikan kepada nisab hasil tanaman (5 wasaq) atau nisab uang (85 gram emas), Qardawi berpendapat bahwa nisab berdasarkan nisab emas itulah yang lebih tepat, dengan alasan lebih mudah dilakukan. Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa agama memandang kaya orang yang telah memiliki kekayaan sebesar itu. Dan selama pemilik gedung/tranportasi (investasi) ini memegang produksinya dalam bentuk uang, maka lebih baik adalah menghitung nisab itu dengan uang pula.[50]

Menurut hemat penulis, kalau hanya berpegang pada alasan kemudahan, memang Islam memerintahkan kita untuk selalu membuat kemudahan. Namun perlu diingat bahwa dengan terlalu menggampangkan persoalan dengan mendasarkan pada kemudahan, maka sangat dimungkinkan berakibat fatal. Semua orang akan berbeda pendapat hanya karena menurut mereka kemudahan adalah versi mereka.

Bagi petani, sebenarnya kemudahan bagi mereka adalah menghitung dengan uang pula, tetapi mengapa nisabnya ditentukan dengan hasil bumi yang mereka peroleh ? Dan juga mengenai besarnya zakat yang lumayan besar 5%-10% setiap panen.

3. Analisa Qardawi

Setelah mengemukakan pendapat ulama diatas, terkutublah pendapat pada 2 kubu, yaitu a) Menetapkan besar 2,5 % b) menetapkan 5% - 10 % sebagaimana besar zakat pertanian.

Qardawi ternyata lebih memilih pendapat kedua yang menurutnya sesuai dengan landasan qiyas yang benar. Namun beliau memberikan catatan sebagai berikut.

Pendapat terakhir memasukkan pabrik dan gedung ke dalam kekayaan bertumbuh yang dikenai kewajiban zakat. Namun tidak menyebutkan ukuran dan prinsip yang berlaku umum dan menyeluruh yang dapat mencakup semua jenis kapital investasi dengan hasil serupa.Dengan demikianm menurut Qardhawi, perlu dibedakan antara kekayaan yang tidak bergerak dengan kekayaan bergerak yang berakibat pada besarnya zakat yang mesti dikeluarkan.

Qardawi akhirnya menyimpulkan: kekayaan yang tidak bergerak ditarik zakatnya dari hasil investasi (produk) sebesar 5% - 10%, sedangkan yang bergerak 2,5% dari modal dan labanya.[51]

III. PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat diambil “benang biru”nya, bahwa ijtihad untuk saat ini sudah tidak dapat ditawat-tawar lagi. Masalah hukum Islam di masyarakat akan terus menggelayuti kita dan tentunya menuntut penyelesaian segera dengan solusi yang menyejukkan. Lapangan yang terus berkembang adalah bidang ekonomi-keuangan (muamalat) dan teknologi, dan ini merupakan tantangan yang “menggairahkan” naluri berijtihad.

Semoga dengan memahami secara mendalam konsep ijtihad kontemporer yang ditawarkan Qardhawi-- dengan tiga model; insya’i, tarjih, dan kombinasi keduanya,-- akan membawa kita kepada kemaslahatan yang seiring dengan ridha-Nya. Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

BIBLIOGRAFI

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. ke-1

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beyrut: Darul Fikr, tt.)

Qadir, Abdurrachman, “Pembaharuan Hukum Islam, Studi Pemikiran Yusuf al-Qardhawi tentang Zakat Profesi”, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990)

Qardhawi, Yusuf, alih bahasa: Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), cet. Ke-1

-------, alih bahasa: Muhammad Ichsan, Masalah-masalah Islam Kontemporer, (Jakarta: Najah Press, 1994), cet. ke-1

-------, alih bahasa: Abdurrachman Ali Bauzir, Fatawa Qardhawi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. ke-2

-------, alih bahasa: Salman harun (et.al.), Fiqh Zakat, (Bandung: Mizan, 1991)

-------, alih bahasa: Abdurrachman, Fatawa Qardhawi, (Jakarta: Najah Press,1994)

-------, alih bahasa: Rofi’ Munawwar dan Tajuddin, Karakteristik Islam: kajian Analitik , (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)

-------, Pengantar Kajian Islam ,(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997)

-------, alih bahasa: Syafril Halim, Fikih Negara, (Jakarta: Rabbani Press, 1997)

-------, alih bahasa: Achmad Satori Ismail, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)

-------, alih bahasa :Cathur Suhardi, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1999)

-------, alih bahasa: Bahruddin F. Fikih Proritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, (Jakarta: Robbani Press, 1996), Cet. ke-1

-------, alih bahasa :Achmad Syathori,Ijtihad dalam Syariah Islam (Beberapa pandangan analitis tentang Ijtihad Kontemporer), (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-1

Sidqi, Muhammad, bin Ahmed Al-Burni. Al-Wajiz, (Byrut, Muassasah Al-Risalah, 1983), Cet. ke-1

Sosroatmodjo, Arsa, dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Bulan Bintang, 1981), Cet.ke-3, h. 94

Yanggo, Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqaran, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1997)

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1997)



[1] Yusuf Qardhawi, alih bahasa: Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), cet. Ke-1, h. v-vi

[2] Ibid., h. 16-17

[3] Ibid., h.. 20

[4] Abdurrachman Qadir, “Pembaharuan Hukum Islam, Studi Pemikiran Yusuf al-Qardhawi tentang Zakat Profesi”, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990), h.16

[5] Yusuf al-Qardhawi, alih bahasa: Muhammad Ichsan, Masalah-masalah Islam Kontemporer, (Jakarta: Najah Press, 1994), cet. ke-1, h. 219

[6] Yusuf al-Qardhawi, alih bahasa: Abdurrachman Ali Bauzir, Fatawa Qardhawi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. ke-2, h. 455

[7] Qardhawi, Masalah-masalah Islam Kontemporer, loc. cit.

[8] Qardhawi, Fatawa Qardhawi, loc. cit.

[9] Qardhawi, Masalah-masalah Islam Kontemporer, loc. cit.

[10] Qardhawi, Fatawa Qardhawi, loc. cit.

[11] Qardhawi, Masalah –masalah Islam Kontemporer, op. cit., h. 20

[12] Ibid., h. 51

[13] Alih bahasa: Salman harun (et.al), Fiqh Zakat, (Bandung: Mizan, 1991)

[14] Kuwait: Darul Qalam li an-Nasr wa al-Tauzi, Edisi ke-4, 1989 Diterjemahkan oleh Abdurrachman dengan judul ‘Fatawa Qardhawi” diterbitkan Najah Press,Jakarta, 1994.

[15] Diterbitkan di Kairo, Muassasah al-Risalah , 1983. Diterjemahkan oleh Rofi’ Munawwar dan Tajuddin diterbitkan Risalah Gusti Surabaya tahun 1995 dengan judul “Karakteristik Islam: kajian Analitik

[16] Madkhal li Ma’rifati al-Islam, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996 diindonesiakan dengan judul Pengantar Kajian Islam diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka al-Kautsar, 1997

[17] Min Fiqh Al-Daulah fi al-Islam Kairo: Darul Syuruq, 1997 Diterjemahkan Syafril Halim, judulnya Fikih Negara, Jakarta, Rabbani Press, 1997

[18] Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali yang judul aslinya al-Imam al- Ghazali terbitan Mesir: Al-Mansurah, 1988 Penerjemahnya Achmad Satori Ismail, Risalah Gusti, 1997

[19] Al-Riyasah Al-Syari’ah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1998, Diterjemahkan Cathur Suhardi dengan judul Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1999

[20]Dapat ditelaah pada buku Qardhawi, alih bahasa: Bahruddin F. Fikih Proritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, (Jakarta: Robbani Press, 1996), Cet. ke-1., h. 76-77

[21] Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, op. cit., h. 24

[22] Lebih lengkap tentang hal ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah seperti karya M. Sidqi bin Ahmed Al-Burni. Al-Wajiz, (Byrut, Muassasah Al-Risalah, 1983), Cet. ke-1

[23] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. ke-1, hal 167-168

[24] Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, op. cit., h. 32-42, lihat pula Fiqh Zakat, karya Qardhawi tentang ijtihad tarjih ini.

[25] Ibid., h. 34, buku-buku yang perlu dijadikan rujukan dalam masalah ijtihad tarjih antara lain: Huzaemah Tahido Yanggo, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqaran, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1997) dan Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1997)

[26] Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, op. cit., h. 43

[27] Ibid., h. 45

[28] Ibid., h. 53-54

[29]lihat Fathurrahman, op. cit., hal 169, tegasnya dapat dilihat pada Arsa Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Bulan Bintang, 1981), Cet.ke-3, h. 94

[30] Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, op. cit., h. 131-132

[31] Ibid., h. 132-133

[32] Ibid., h. 133-134

[33] Ibid., h. 134-135

[34] Ibid., 135-136

[35] Ibid., h. 136-137

[36] Ibid., h. 137-138

[37] Ibid., h. 138-139

[38] Ibid., h.141-143

[39] Ibid., h. 63-67

[40] Bunyinya “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (al-Ahzab: 4-5)

[41] Bunyinya, “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiapseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan, kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekelompok dari orang-orang yang beriman.” (Al-Nur: 2)

[42] Ibid., h. 71-75

[43] Ibid., h. 81-82

[44] Ibid., h. 87-88

[45] Ibid., h. 89-90

[46] Ibid., h. 94-110, pembahasan senada tentang Kode Etik dan Penyimpangan Ijtihad diungkap pula oleh Qardhawi dalam Ijtihad dalam Syariah Islam (Beberapa pandangan analitis tentang Ijtihad Kontemporer).alih bahasa :Achmad Syathori, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-1, h. 127-250

[47] Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beyrut: Darul Fikr, tt.), hal. 182-183

[48] Qardawi, Fiqh Zakat,, op. cit., h. 443

[49] Ibid., h. 442-453

[50] Ibid, h. 456

[51] ibid. , h. 453-458

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction