Rabu, 06 Mei 2009

OBYEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG WAKAF

Setelah dipaparkan obyek wakaf dalam perspektif fikih, pada bagian ini akan diulas tentang definisi wakaf dan obyek wakaf dalam perspektif fikih wakaf Indonesia telah terkodifikasi dalam undang-undang Nomor 41 tahun 2004. Wakaf dalam pasal 1 Undang-undang tersebut didefinisikan sebagai suatu benda adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Adapun obyek wakaf--dalam bahasa undang-undang ini pada pasal yang sama disebut sebagai harta benda wakaf--adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.

Secara terperinci, obyek wakaf di Undang-undang nomor 41 tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanha sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16).

Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fikih wakaf Indonesia telah mengadopsi semangat fikih klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perpektif fikih klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya undang-undang no 41 tahun 2004, sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang tentang wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Lebih lanjut, kedua pasal tersebut diberikan elaborasinya dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2008. Pasal yang menjelaskan kedua pasal tersebut (15 dan 16) adalah pasal 15-23. Pada pasal 15 PP ini dijelaskan tentang jenis harta benda wakaf yang meliputi: a) Benda bergerak; b) Benda bergerak selain uang; dan c) Benda bergerak berupa uang (Pasal 15). Di sini ada perbedaan penyebutan dengan UU, yang hanya mengklasifikasikan benda wakaf menjadi bergerak dan tidak bergerak. Namun PP ini menyebut lebih rinci dari benda bergerak berupa uang dan selain uang. Pembedaan ini semata-mata karena konsekuensi dari benda bergerak berupa uang dan selain uang tidaklah sama sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal selanjutnya.

Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan (pasal 16).

Benda bergerak selain uang dijelaskan dalam pasal 19, 20, dan 21. Dalam pasal 19 disebutkan bahwa:

(1) Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang

(2) Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.

(3) Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan.

(4) Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syariah.

Adapun pasal 20 menjelaskan bahwa benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi: a) Kapal, b) Pesawat terbang, c) Kendaraan bermotor, d) Mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan, e) Logam dan batu mulia; dan/atau, f) Benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang.

Selanjutnya, pasal 21 menjabarkan bahwa benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut:

a. Surat berharga berupa, 1. Saham, 2 surat utang negara, 3 obligasi pada umumnya, dan/atau 4. Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

b. Hak atas kekayaan intelektual yang berupa: 1. Hak cipta, 2. Hak merk, 3. Hak paten, 4. Hak desain industri, 5. Hak rahasia dagang, 6. hak sirkuit terpadu, 7. Hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau 8. Hak lainnya.

c. Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa: 1. Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; atau 2. Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

Adapun benda bergerak berupa uang dijelaskan dalam pasal 22 dan 23.

Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa

(1) Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.

(2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

(3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. Hadir di lembaga keuangan syariah penerima wakaf tunai (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;

b. Menjelaskan kepelikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;

c. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;

d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.

Pasal 23 menjelaskan bahwa Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS penerima wakaf uang (LKS-PWU).

Dari paparan di atas nampak jelas bahwa undang-undang no 41 tahun 2004 yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 lebih mengedepankan aspek administrasi di samping aspek fikihnya. Hal ini dinilai wajar karena munculnya undang-undang tersebut merupakan jawaban atas kegalauan sebagian umat Islam Indonesia dalam pelaksanaan wakaf. Dengan demikian, fikih klasik yang menjadi sumber hukum positif di Indonesia masih relevan untuk dikaji guna menemukan formula baru bagi pengembangan wakaf ke depan seiring dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction