Sabtu, 30 Mei 2009

REKONSTRUKSI AHL AL-ZAKAT

Dalam tulisan ini, ahl al-zakat diartikan sebagai orang yang mengeluarkan zakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Seseorang yang masuk dalam kategori muzakki biasanya dengan mudah dianggap sebagai orang kaya, sedangkan seseorang yang masuk dalam kategori mustahiq umumnya disebut orang miskin atau orang lemah ekonomi. Namun, kategori kaya dan miskin untuk zaman sekarang sudah mengalami perubahan yang signifikan.

a. Muzakki

Per­geseran konsep muzakki sebagai orang kaya dalam zaman sekarang ini, selain terkait dengan pergeseran konsep materi zakat yang dijelaskan di atas, juga terkait dengan bagaimana kita melihat dan menafsirkan ketentu­an-ketentuan tentang wajibnya seseorang mengeluarkan zakat. Nisab dan haul perlu mendapat perhatian khusus dalam masalah ini. Dulu orang akan dianggap kaya apabila ia memiliki emas dan perak, me­miliki kebun buah-buahan dan hasil pertanian yang ba­nyak, memiliki binatang ternak, atau memiliki harta perda­gangan yang banyak atau me­nemukan barang simpanan dalam tanah. Namun, sejak dikembangkan bank dan pasar modal sebagai lembaga ekonomi, diterapkan sains dan teknologi dalam kegiatan budi-daya, dipakainya keahlian dan ketrampilan diri se­bagai komoditas, orang-orang sekarang menjadi kaya bukan saja karena menyimpan emas dan perak atau me­miliki binatang ternak, tetapi karena memiliki deposito yang banyak pada bank, memiliki saham perusahaan per­usahaan besar yang terus berjalan mencari kekayaan dan hasilnya dibagi-bagikan kepada pemegang saham itu, mampu menghasilkan berbagai kebutuhan manusia me­lalui proses budi-daya atau mempunyai ketrampilan atau keahlian yang bisa dijual kepada orang lain. Demikian juga sekarang orang menanam modal dalam pabrik-­pabrik dan gedung-gedung besar yang disewakan dan terus-menerus memberikan kekayaan kepada penaman modalnya.

Orang-orang kaya sekarang hartanya terus-menerus tumbuh dan berkembang tanpa harus terlibat dalam proses pertumbuhan dan pertambahannya. Harta mereka juga diurus oleh orang lain sedangkan dia sendiri mung­kin tidak begitu tahu berapa banyak kekayaannya. Mung­kin karena itulah, banyak ulama’, termasuk Qardawi, mewajibkan mengambil zakat dari harta orang gila dan kanak-kanak karena mereka bisa menjadi kaya karena mewarisi kekayaan dari orang lain dan diurus dengan cara cara modern. Kesinambungan ke­kayaan pada zaman sekarang disebabkan oleh lembaga lembaga ekonomi yang bersifat stabil dan mapan. Lembaga-lembaga ekonomi seperti perusahaan perusahaan, seperti bank-bank dan lem­baga asuransi, terus-menerus mengembang­kan kekayaan di luar batas kehidupan individu manusia. Ada di antara lembaga itu yang telah berumur ratusan tahun dan menyimpan kekayaan cucu-cucu dari pendiri­nya yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu.

Bidikan menarik telah dilakukan Safwan Idris dalam hal kalsifikasi orang kaya dan miskin. Menurutnya, saat ini telah berkembang konsep pengklasifikasian seseorang ke dalam kelas sosial. Golongan mene­ngah ke atas sudah merupakan orang kaya meskipun mereka tidak memiliki kekayaan seperti tanah pertanian, perkebunan, peternakan, emas dan perak serta barang-ba­rang yang diperdagangkan. Para eksekutif yang menjadi manajer perusahaan atau bank merupakan orang kaya yang sangat terpandang da­lam zaman sekarang ini. Demikian juga para dok­ter dan advokat yang dapat mengumpulkan kekayaan yang banyak dari pelayanannya dengan bermodalkan izin dan kantor tempat konsultasi saja. Bahkan kekayaan golongan-golongan ini yang sekarang masuk dalam kelas menengah atas melampaui kekayaan para petani atau peternak tradisional yang biasa mengeluarkan zakatnya. Gaji kelompok menengah ke atas ini jauh melebihi hasil padi yang ditanam selama tiga atau empat bulan lamanya yang mencapai nisab. Dengan menghasilkan beras sekali panen dalam tiga atau empat bulan sebanyak 653 kg, petani sudah menjadi orang kaya yang membayar zakat. Apalagi para manajer, doktor, konsul­tan, advokat dan lain yang tiap bulan mendapat gaji ber­sih berjuta-juta rupiah. Wajar kalau kemudian kelompok baru ini di wajibkan untuk mengeluarkan zakat.

b. Mustahiq

Konsep mustahiq zakat juga mengalami pergesaran sehingga memerlukan pemaknaan ulang. Mustahiq sebagaimana disebut dalam surat al-Taubah/9: 60 terdiri dari delapan golongan, yakni fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.

Dalam za­man klasik misalnya konsep fakir dan miskin sebagai dua kategori utama dari mustahiq sudah begitu berbeda antara berbagai mazhab fiqh sehingga dalam Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah uraian tentang penda­pat masing-masing mazhab tentang masalah ini jauh lebih panjang dari statemen perbandingan dan penyatuan antara pendapat-pendapat mazhab itu. Dalam zaman modern sekarang ini kemiskinan bukan saja ditentukan oleh kepemilikan kekayaan secara individual, tetapi tergantung juga dari tingkat kehidupan ekonomi suatu bangsa dan kualitas diri manusia itu sendiri. Dilihat dari tingkatan perekonomian suatu bang­sa, kemiskinan yang biasanya didefinisikan melalui kon­sep garis kemiskinan akan berbeda beda di antara berba­gai negara. Di Brunai orang dianggap miskin dan berhak menerima zakat bila ia berpenghasilan sekitar $ 1.180 atau sekitar Rp. 6.700.000[1] padahal untuk ukuran Indonesia penghasilan sebesar itu adalah termasuk orang kaya sebab orang dianggap cukup bila ia berpengasilan sekitar Rp 1.000.000,- atau berdasarkan upah minimum regional (UMR).

Di samping perubahan pengertian tentang orang kaya dan miskin, konsep amil zakat sendiri sudah ber­kembang sedemikian rupa seperti lembaga BAZ dan LAZ di Indo­nesia, dan Baitul Mal di Malaysia. Terbentuknya badan-badan ini sebagai penja­baran konsep amil memang mencerminkan pengaruh kontemporer dalam pengembangan berbagai konsep di sekitar zakat.

Unsur-unsur lainnya yang mengalami pergeseran dalam zaman sekarang ini ialah interpretasi terhadap konsep sabilillah, ibnu sabil, dan bahkan konsep riqab itu sendiri. Di masa lalu konsep sabilillah lebih difokuskan pada orang-orang yang secara sukarela berperang di jalan Allah tanpa adanya imbalan materiil yang pasti. Sebagi­an ulama tradisional masih berpegang dengan penafsiran tersebut sehingga untuk saat ini bila tidak ada peperangan, kelompok ini tidak perlu mendapat alokasi zakat. Padahal, kalau kita mau membuka pemikiran kita lebih luas, konsep jihad seka­rang ini dapat dimaknai sebagai berbagai macam perjuangan umat Islam yang mencakup berbagai kegiatan dakwah dan pembinaan masyarakat dan lembaga-lembaga agama Islam, seperti sekolah atau perguruan tinggi. Lembaga-lembaga semacam ini perlu mendapat bagian zakat dalam rangka meningkat­kan kualitas umat Islam sehingga mereka dapat memenangkan persaingan global saat ini.

Konsep ibnu sabil juga perlu reaktualisasi. Ibnu Sabil tidak saja meliputi orang yang habis perbekalannya dalam perjalanan, tetapi meliputi pemberian beasiswa kepada pelajar agar perjalanan pen­didikan mereka tidak putus di tengah jalan.Pem­berian beasiswa saat ini nampaknya lebih positif dan tepat sasaran zakat dibanding memberikan zakat secara konsumtif. Melalui pendidikan, umat Islam dapat mengembangkan kemampuan dan kekuatan dirinya untuk menghasilkan jasa yang bernilai ekonomis dan mampu merubah nasibnya dari mustahiq menjadi muzakki baru di masa mendatang.

Yang terakhir dari mustahiq zakat yang akan diutara­kan di sini adalah konsep riqab yang sering diterjemah­kan dengan hamba sahaya. Banyak orang berpendapat bahwa di era modern sekarang ini, hamba sahaya sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan seiring dengan kesepakatan negara-negara se-dunia dalam deklarasi hak-hak asasi manusia (Declaration of Human Rights) untuk menghapuskan perbudakan di atas bumi. Untuk sementara, kita bisa sepakat bahwa hamba sahaya model lama tidak ditemukan lagi. Namun, hal ini bukan berarti bahwa orang-orang modern sekarang semuanya terbebas dari berbagai belenggu yang mengikat leher mereka. Dari berbagai pengalaman, kita dapat menjumpai banyak sekali orang-orang miskin yang terjebak oleh rentenir dan mereka hampir tidak bisa membebaskan dirinya lagi dari ikatan para lintah darat itu. Bahkan sebagian mereka dipaksa harus rela ’menggadaikan’ agamanya. Orang-orang semacam ini sebenarnya dapat dikategirikan sebagai riqab zaman modern. Mereka berhak menerima zakat dalam rangka untuk membe­baskan diri dari penindasan rentenir itu. Inilah bukti bahwa kandungan al-Qur'an akan tetap relevan dalam segala zaman.



[1] Perhitungan ini dilakukan oleh Eri Sudewo tahun 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction