Selasa, 02 Juni 2009

POLIGINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM


A. Poligini dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan[1]

1. Asas Monogami Terbuka

Pasal 1 Undang-undang ini memberikan penjelasan tentang definisi perkawinan, yakni "ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan yang Maha Esa." Bila dicermati lebih mendalam, kalimat yang disebutkan dalam pasal ini menegaskan istilah satu pria dan satu wanita, artinya tidak ada peluang bagi seorang pria dan beberapa wanita untuk melakukan perkawinan.[2] Hal ini senada dengan pasal 27 BW dan pasal 2 HOCI bahwa asas perkawinan adalah monogami.

Namun bila telaah dilanjutkan kepada pasal 3 ayat 1, dijelaskan di sana bahwa "pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami." Istilah "pada dasarnya" dapat dipahami sebagai pintu diperbolehkannya suatu perbuatan yang bertentangan dengan apa disebut setelahnya. Kata ini membuka peluang untuk adanya penyimpangan. Ternyata, jalan keluar yang dimaksud disebutkan dalam pasal yang sama ayat 2, bahwa "pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan." Jelaslah bahwa monogami yang dimaksud dalam pasal 1 tentang perkawinan memiliki pengecualian, bahwa dalam sebuah perkawinan diperbolehkan terdiri atas seorang suami dan beberapa isteri. Keyakinan ini lebih tegas didukung oleh penjelasan pasal ini dalam penjelasan umum UU no 1 tahun 1974 angka 4 huruf c yang menyatakan bahwa:

Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

Nampak jelas dalam pernyataan di atas bahwa asas perkawinan yang dianut oleh undang-undang ini adalah monogami, namun bukan monogami mutak, akan tetapi monogami terbuka. Artinya, bahwa monogami dijadikan asas perkawinan secara umum, namun bila situasi dan kondisi mengarahkan untuk terjadinya poligini, maka undang-undang ini memberikan jalan keluar, yakni melalui sidang pengadilan. Poligini merupakan pintu darurat yang tidak sewaktu-waktu dapat digunakan. Selain itu juga, ada beberapa agama, seperti Katolik dan Protestan, yang sama sekali tidak mengizinkan poligini.

Proses sidang di pengadilan pada dasarnya akan mempersulit proses terjadinya poligini, sebab pihak yang datang bukan hanya suami yang hendak poligini, namun pihak isteri pertama juga akan dihadirkan untuk didengar pendapatnya.

2. Alasan Poligini

Seperti dipaparkan di atas, perkawinan hanyalah terdiri dari satu suami dan satu isteri yang saling mengikat janji untuk kekal dalam cinta. Namun, pintu poligini akan mungkin digunakan bila telah terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal 4 dan 5.

Pasal 4 menyatakan bahwa:

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal ini menjelaskan bahwa prosedur pengadilan harus dilakukan bila hendak berpoligini. Apabila poligini dilakukan di luar porsedur ini, maka tindakan poligininya tidak mendapat perlindungan hukum, seperti halnya perkawinan di bawah tangan. Hal-hal yang terjadi akibat tidak terlaksananya prosedur ini tidak dapat diselesaikan di sidang pengadilan, melainkan di luar sidang pengadilan.

Hal menarik dalam pasal ini adalah adanya alasan poligini. Ketiga alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) di atas menunjukkan bahwa isteri merupakan sumber terjadinya poligini. Nampaknya undang-undang ini lebih berpihak kepada laki-laki, padahal bisa jadi justru laki-lakilah yang tidak dapat menjalankan perannya sebagai suami, memiliki cacat badan atau penyakit menahun dan tidak dapat membuahi isteri.

Ketidakadilan muncul ketika laki-laki yang bermasalah, undang-undang ini tidak memperkenankan wanita untuk poliandri, namun bila wanita yang bermasalah, laki-laki boleh menduakan cintanya dengan wanita lain. Pertimbangan bahwa rumah tangga harusnya ditopang oleh kedua belah pihak, selalu setia dengan satu pasangan biasanya lebih ditekankan kepada perempuan, bukan untuk laki-laki. Bila kita mencermati sebuah kasus, sepasang suami isteri yang belum dikaruniai keturunan. Dalam situasi ini, perempuan sering dianggap yang bersalah karena bermasalah. Seharusnya, perempuan tidak serta merta disalahkan, perlu diadakan tes laboratorium untuk mengetahui kesuburan pasangan tersebut. Jika ternyata suami yang mandul, maka tidak tepat bila seorang laki-laki melakukan poligini dengan alasan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Tindakan yang dilakukan bukannya poligini, namun memperbaiki tingkat kesuburan melalui jalur medis dan atau mengangkat anak (adopsi). Banyak pasangan yang tersalurkan naluri sebagai orang tua melalui adopsi tanpa harus mengorbankan keutuhan rumah tangganya.

Lebih lanjut, pasal 5 menjelaskan tentang pengajukan permohonan poligini. Bunyi pasalnya sebagai berikut.

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapatkan penilaian dari hakim pengadilan.

Pasal ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Apabila seorang suami ingin berpoligini, ia harus mendapatkan izin dari isteri pertamanya untuk perkawinan kedua atau isteri-isteri untuk perkawinan ketiga dan keempat. Izin ini harus dinyatakan isteri/isteri-isteri secara lisan dan tulisan. Secara umum, jarang sekali perempuan mau untuk dimadu. Mereka tentu akan merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang dari suami yang selama ini ia terima. Biasanya, isteri akan mengizinkan suami untuk perpoligini dengan alasan antara lain, ekonomi bergantung kepada suami, usia sudah lanjut, atau tidak ingin adanya permusuhan antara anggota keluarga.

Hal lain yang juga perlu digarisbawahi adalah bahwa suami harus menunjukkan kemampuannya untuk menjamin ekonomi para isteri dan anak-anaknya secara cukup dan mampu berlaku adil. Poin ini sering menjadi kendala bagi suami karena seringkali terjadi bahwa isteri muda atau yang paling menarik perhatian suami akan mendapat nafkah lahir-batin secara cukup sedangkan isteri yang lain ditelantarkan. Anak-anak dari isteri-isteri juga merasakan akibat yang serupa. Untuk itu, apabila pengadilan mengabulkan permohonan poligini, ketentuan berlaku adil harus ditegaskan dengan pembagian harta atau penghasilan secara merata sehingga tidak mengundang masalah di kemudian hari. Apabila suami merasa tidak mampu untuk bertindak adil, sebaiknya ia menghindari poligini.

Adanya peraturan yang cukup ketat tentang poligini, Prawirohamidjojo, sebagaimana dikutip Titik,[3] akan menyebabkan terjadinya dua masalah: perkawinan sirri (clandestine) dan hidup bersama tanpa perkawinan (samenleven). Perkawinan sirri merupakan bentuk perkawinan yang dilakukan secara agama namun tidak mendapat perlindungan hukum negara. Dengan mengaku sebagai bujang atau tanpa mempedulikan tanggapan isteri, seorang suami menikahi seorang perempuan di hadapan seorang tokoh agama. Pernikahan mereka tetap sah namun bila terjadi pertengkaran atau perselisihan, mereka tidak dapat memproses perkaranya di pengadilan. Dalam kasus ini, perempuan sekali lagi menjadi korban.

Hidup bersama tanpa ikatan perkawinan sering menjadi salah satu alternatif untuk menghindari rumitnya prosedur berpoligini. Suami menjalin cinta dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan isteri. Mereka anggap bahwa kehidupan cinta mereka sudah cukup bahagia walau tanpa ikatan. Kalau ini terjadi, maka anak-anak yang lahir dalam hubungan gelap ini tidak mendapat pengakuan dari agama maupun penerintah. Akibatnya, kehidupan mereka, baik partner perempuan dan anak-anaknya, akan dikucilkan dari masyarakat.

Untuk itu, suami yang hendak berpoligini haruslah berpikir matang terkait dengan akibat-akibatnya. Sikap hanya mementingkan diri sendiri dan hawa nafsu pribadi akan menyengsarakan, tidak hanya bagi dirinya tapi juga bagi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan pemikiran inilah, undang-undang yang berlaku di Indonesia berusaha menekan seminimal mungkin terjadinya poligini.

B. Poligini dalam PP nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil[4]

Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan sosok aparatur negara, abdi negara sekaligus abdi masyarakat. Mereka harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan pada perundang-undangan yang berlaku. Tak terkecuali dalam masalah perkawinan, PNS harus menaati peraturan yang termaktub dalam UU nomor 1 tahun 1974. Bahkan, untuk mereka, pemerintah membuat peraturan khusus sebagaimana tertera dalam PP nomor 10 tahun 1983. Sedangkan untuk pegawai negeri militer (TNI/Polri), pemerintah telah membuat Surat Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan bersenjata Nomor Kep/B/12/III/1972.

Terkait dengan poligini, PNS maupun militer juga tidak mudah melakukannya. Mereka bahkan harus minta izin atasannya jika menginginkan poligini. PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan PNS wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan PNS diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.

Menurut pasal 10 PP 10 tahun 1983, izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif:

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Syarat lain yang juga harus dipenuhi adalah:

1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri

2. Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan

3. Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

Ketiga syarat di atas merupakan syarat kumulatif, artinya harus terpenuhi semuanya.

Sedangkan bagi PNS wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan PNS berlaku syarat-syarat kumulatif sebagai berikut:

  1. Adanya persetujuan tertulis dari isteri bakal suami
  2. Bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan
  3. Adanya jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya

Syarat-syarat lain yang juga harus dipenuhi sebagaimana tertera dalam pasal 11 ayat (2) PP tersebut adalah:

  1. Tidak bertentangan dengan ajaran agama yang dianut PNS yang bersangkutan
  2. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku
  3. Alasan yang dikemukakan tidak bertentangan dengan akan sehat
  4. Tidak ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan

Pejabat yang berhak memberikan izin mempunyai wewenang untuk:

  1. Meminta keterangan tambahan dari isteri PNS yang mengajuan permohonan izin, apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan kurang meyakinkan
  2. Member nasehat kepada PNS pria atai PNS wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat agar niatnya sejauh mungkin dihendarkan
  3. Menolak permohonan izin, apabila mengganggu tugas kedinasan.

Permintaan izin PNS untuk beristeri lebih dari seorang atau menjadi isteri kedua/ketiga/keempat wajib dipertimbangkan, diteruskan melalui satuan hirarkhis dan pada akhirnya pejabat harus memberikan keputusan selambat-lambatnya tiga bulan terhitung tanggal mulai ia menerima surat permintaan izin tersebut.

Permasalahan tetap muncul ketika izin poligini dipersulit. Memang, perkawinan legal bagi mereka yang ingin menikah lebih dari satu turun drastis, seperti laporan Titik yang mengutip hasil penelitian Prawirohamidjojo, namun bentuk poligini ilegal semakin marak. Bagi mereka yang tidak ingin repot mengurus pernikahannya lebih memilih selingkuh alias kumpul kebo sedangkan mereka yang beragama Islam dan masih mengakui perlunya keabsahan pernikahan secara agama, maka mereka lebih cenderung menikah secara sirri. Bagi PNS, sejak adanya PP 10, mereka akan diancam dengan hukuman disiplin atau pemberhentian dengan hormat.

C. Poligini dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pada dasarnya, ketentuan poligini yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaian besar mengadopsi secara langsung dari Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. KHI ini lebih ditujukan untuk proses hukum yang berlaku di Pengadilan Agama, institusi khusus untuk para pihak yang beragama Islam. Pembahasan poligini di dalam Kompilasi Hukum Islam diulas dalam bab IX tentang beristeri lebih dari satu orang mengandung 5 pasal, dari pasal 55 sampai 59.

Pasal 55 menjelaskan tentang batas maksimal poligini, yakni 4 isteri dalam satu waktu. Kemudian, syarat bolehnya laki-laki untuk poligini adalah harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

Pasal 56 menerangkan tatacara pengajuan izin poligini, yakni ke PA. Jika terjadi poligini tanpa persetujuan PA, maka perkawinan itu tidak berkekuatan hukum (sirri). Bunyi pasalnya adalah:

(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama

(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam bab VII PP no. 9 tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57 menjabarkan sebab-sebab poligini yang sama isinya dengan pasal 4 UU No.1 tahun 1974 yang berbunyi:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58 menerangkan syarat-syarat bolehnya poligini yang sama isinya dengan pasal 5 UU No. 1 th. 1974, kecuali huruf c yang tidak dicantumkan karena sudah dimuat dalam pasal 55 KHI. Juga menjelaskan bahwa persetujuan isteri/isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama, sesuai dengan PP No. 9 th 1975 pasal 41.

Pasal 59 memberikan kesempatan upaya hukum, berupa banding atau kasasi atas putusan yang dibuat oleh PA. Dengan demikian, putusan PA dalam masalah poligini pun masih dapat dilakukan banding ke Pengadilan Tinggai Agama (PTA) atau kasasi ke Mahkamah Agung.



[1] Lembaran Negara Republik Indonesia, tahun 1974 nomor 1.

[2] Artinya, poligini dan poliandri tidak mendapat tempat dalam definisi ini, termasuk juga larangan menikah sesama jenis kelamin (pasangan homoseks atau lesbian).

[3] Titik, op.cit., 129-130.

[4] Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction