Senin, 06 Juli 2009

POLIGINI DAN PENEGAKAN HAK-HAK PEREMPUAN DI INDONESIA


Perdebatan poligini di Indonesia dari masa ke masa tidak pernah berhenti dibicarakan. Sejak tahun 1911, Kartini sebagai figur perempuan Indonesia menulis penolakannya terhadap poligini melalui surat kepada temannya di Belanda, sekalipun pada akhirnya beliau sendiri mengalaminya. Salah satu ungkapan Kartini dengan sangat iba: “Tolonglah kami memberantas siasat mementingkan dari kaum laki-laki yang tak mengenal segan itu; iblis, yang ratusan tahun mendera menginjak-injak perempuan sedemikian rupa sehingga karena biasa akan dianiaya itu perempuan tak memandangnya lagi sebagai ketidakadilan, melainkan dengan rasa menyerah dan tawakal menerimanya sebagai hak yang wajar laki-laki, sebagai pusaka penderitaan setiap perempuan”….”Saya putus asa, dengan rasa sedih perih saya puntir-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia seorang diri saja saya merasa tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu dan yang–aduh, alangkah kejamnya, dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan kurbannya.”[1]

Pada tahun 1928 poligini menjadi pembahasan dalam Kongres Perempuan pertama, para aktifis perempuan kalangan nasionalis menuntut adanya larangan poligini. Kemudian pada tahun 1930 Federasi Asosiasi Perempuan Indonesia mengadakan pertemuan tentang poligini di mana persoalan ini akhirnya dihindari dengan alasan untuk menjaga perasaan Asosiasi Muslim. Setelah kemerdekaan RI, tahun 1950 sejumlah organisasi perempuan menghendaki adanya perbaikan hukum perkawinan, khususnya poligini yang merugikan perempuan seperti Gerwani, Perwari, Wanita Katolik, bahkan organisasi wanita Islam juga mendukung ide tersebut. Namun bagi organisasi perempuan Islam mengalami hambatan psikologis karena induk organisasinya dipimpin oleh laki-laki.

Pada tahun yang sama (1950) perempuan yang ada di parlemen mengusulkan dibentuknya komisi perkawinan yang menghasilkan rancangan undang- undang yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia yang antara lain berbunyi bahwa perkawinan harus didasarkan suka sama suka dan poligini hanya diizinkan dengan persyaratan yang keras, dan hanya dengan persetujuan agama si perempuan dan laki-laki. Ketika proses perundingan di parlemen belum usai, pemerintah mengeluarkan Keputusan No. 19 Tahun 1952, yang mengatur tunjangan Pegawai Negeri Sipil yang antara lain pegawai laki-laki yang berpoligini menerima gaji dua kali lipat. Artinya, justru mendorong praktik poligini dan rakyat yang harus membayar biaya poligini tersebut. Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Muslimat NU turut mendukung keputusan pemerintah ini, sedangkan organisasi perempuan yang tidak berafiliasi pada ormas Islam memprotes dan melakukan demonstrasi tanpa dukungan ormas perempuan Islam.[2]

Rancangan undang-undang yang disusun oleh Komisi Perkawinan yang diserahkan kepada Menteri Agama pada tahun 1954 tidak diteruskan ke parlemen. Kemudian salah satu Fraksi Perempuan di parlemen dari unsur PNI mengusulkan RUU yang sangat radikal, yakni menuntut monogami bagi seluruh bangsa Indonesia dan menjamin hak-hak yang sama dalam perceraian. Usulan ini ditentang oleh laki-laki muslim. Beberapa organisasi perempuan Islam mencoba mengajukan usulan kompromi bahwa poligini hanya diberlakukan bagi umat Islam atas permohonan suami-istri, tetapi usulan ini ditolak oleh Kementerian Agama sampai akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 dan membubarkan Parlemen.[3]

Pada tahun 1974 Undang-undang Perkawinan disyahkan yang antara lain mengatur poligini setelah melalui proses kompromi yakni poligini dibolehkan dengan persyaratan ketat. Reaksi dari organisasi perempuan yang bukan berbasis Islam melakukan perlawanan sekalipun dilakukan secara perorangan, sedagkan perempuan dari partai Islam tetap menghendaki aturan yang membolehkan poligini. Perdebatan seru di antara pro poligini dan kontra poligini dalam undang-undang ini dikhawatirkan akan mengancam stabilitas pemerintahan orde baru yang masih dalam proses konsolidasi, akhirnya fraksi-fraksi lain terpaksa ikut menyetujui aturan poligini dengan syarat-syarat tertentu.[4]

Meskipun UU Perkawinan yang mengatur poligini demikian ketat, namun dalam praktiknya masih banyak poligini yang dilakukan di bawah tangan tanpa melalui mekanisme resmi yang telah ditentukan. Bahkan sejalan dengan menguatnya posisi institusi politik berbasis keislaman sejak tahun 1999 hingga sekarang, praktik poligini semakin marak dan mendapatkan toleransi secara massif.

Perdebatan poligini menjadi populer kembali setelah Persatuan Islam (PERSIS) mengusulkan pencabutan Peraturan Pemerintah RI No 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil termasuk poligini. Khofifah Indar Parawansa memberikan reaksi penolakan terhadap usulan pencabutan tersebut. Namun ketika perdebatan itu berlangsung, otonomi daerah diberlakukan di mana daerah diberi keleluasaan untuk mengatur daerah masing-masing yang salah satunya adalah memunculkan Perda syari’at Islam yang mendukung poligini. Poligini dalam konteks ini dipahami sebagai pengamalan Islam kaffah yang dikampanyekan melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Puspo Wardoyo seorang pengusaha ayam goreng Wong Solo sebagai poligam menerbitkan buku tentang kiat sukses berpoligini. Wacana poligini ini lebih marak lagi ketika Abdullah Gymnastiar melakukan poligini yang berakhir pada menurunnya kepercayaan kelompok perempuan yang pada awalnya menjadi pengagumnya.

Dalam perspektif perempuan praktik poligini tidak sesuai dengan hak-hak dasar manusia dan merugikan perempuan, sejumlah aktifis perempuan melakukan berbagai upaya untuk menentang poligini yang telah menjadi bagian dari isu kekerasan terhadap perempuan. Sejumlah pimpinan organisasi perempuan berbasis Islam pada akhirnya juga tidak setuju poligini, walaupun organisasi induknya yang dipimpin laki-laki tidak tertarik untuk membicarakannya.

Penelitian dilakukan oleh Feillard[5] pada tahun 1995 tentang perempuan muslim dengan mewawancarai 23 tokoh perempuan dari berbagai organisasi perempuan yang berbasis Islam maupun LSM. Dalam penelitian ini Feillard mengangkat isu poligini. Hampir seluruh responden yang diwawancarai, baik yang setuju maupun yang tidak setuju, memberikan pernyataan yang tegas bahwa poligini tidak menjadi persoalan mereka karena dalam keluarga mereka tidak ada praktik poligini. Musdah Mulia melalui Counter Legal Drafting (CLD) juga melakukan perlawanan keras bahwa poligini adalah haram bi ghairihi, karena keharamannya didasarkan dampak poligini jelas-jelas terjadi kemudharatan dalam kehidupan, bukan pada hukum asli poligini itu sendiri.

Dengan demikian poligini telah menjadi perdebatan yang panjang di Indonesia, dan tampaknya masih terus-menerus menjadi pembahasan dari masa ke masa karena menyangkut persoalan keadilan, kesetaraan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan dampak-dampak yang diakibatkan jika poligini diberlakukan dan jika melegalkan monogami sebagai satu-satunya bentuk perkawinan di Indonesia.



[1] Lihat: Kartini, Surat-surat Kepada Ny. Abendanon Mandri dan Saminya, (Jakarta: Djambatan, 1989), 10.

[2] Lihat: Menimbang Poligami, Jurnal Perempuan No. 31, Tahun 2003, 30-31.

[3] Lihat: Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Grafiti Pers, 1995)

[4] Lihat: Penelitian Indraswati Dyah Saptaningrum, Sejarah Undang-undang Perkawinan dan Pembakuan Peran Perempuan dalam Undang-undang Perkawinan (Jakarta: LBH APIK, 1999).

[5] Feillard, Andree, Potensi Perubahan Relasi Gender di Lingkungan Umat Islam: Sebuah Proyeksi dan Penataan Data, dalam: Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam (Bandung: Mizan, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction