Senin, 31 Agustus 2009

TANTANGAN AMIL DALAM ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim yang ditunaikan di bulan ramadhan. Aturannya cukup detail antara lain besarnya satu sha' yang setara dengan 2,5-2,7 Kg makanan pokok semacam beras yang biasa dikonsumsi, difokuskan untuk kelompok fakir miskin, dan diutamakan dibayar di akhir ramadhan. Amil dalam pengelolaan zakat fitrah cukup marak bermunculan di perbagai masjid maupun di mushala, namun jarang diprogramkan oleh lembaga pengelola zakat profesional yang lebih senang mengurus zakat mal. Peran amil dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat fitrah menjadi salah satu aktifitas yang cukup menyenangkan sekaligus menantang karena banyak masalah yang terjadi dalam hal pengelolaan zakat jenis ini.

Setidaknya ada tiga masalah yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan zakat fitrah.
Pertama, soal status amil. Ketika ditanya kelompok mana yang berhak menerima zakat, termasuk di dalamnya zakat fitrah, para ulama fikih sepakat bahwa amil termasuk salah satu dari 8 golongan yang berhak menerima zakat. Namun, apakah amil yang ditunjuk oleh takmir mushala atau masjid yang sifatnya temporal termasuk jenis amil yang berhak menerima bagian zakat? Kalau merunut sejarah amil di masa nabi, para amil merupakan petugas yang ditunjuk secara resmi untuk mengurus zakat, termasuk zakat fitrah. Mereka bukanlah tenaga musiman yang bekerja bila punya kesempatan. Mereka digaji karena mereka ditunjuk untuk mengurus zakat dari penjemputan hingga pendistribusian. Alhasil, amil zakat di mushala yang biasa kita lihat bukanlah tipe amil yang ada pada zaman nabi sehingga konsekuensinya tidak berhak mendapat bagian zakat.

Namun, ada sebagian ulama yang melonggarkan pengertian amil, misalnya Abu Zahrah, yang memberikan definisi amil sebagai orang yang bekerja untuk menghimpun, menghitung, mencari mustahiq, serta membagikan zakat kepada mereka. Dari pengertian ini nampak jelas bahwa amil, baik yang diangkat oleh imam atau tidak, berhak mendapatkan bagian zakat.

Masalah kedua adalah pembagian zakat fitrah. Sebuah hadis Nabi SAW dari Ibnu Umar menyebutkan bahwa zakat fitrah diutamakan untuk diberikan kepada fakir miskin. Persoalannya yang mucul antara lain adalahsulitnya mendeteksi apakah seseorang itu fakir atau miskin. Status miskin bagi sebagian masyarakat dianggap status sosial yang rendah sehingga tak jarang seseorang menolak untuk diberi zakat fitrah padahal sebenarnya ia berhak menerima. Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembagian zakat ini adalah tidak ditemuinya mustahiq zakat fitrah pada saat dibagikan. Hal ini bisa jadi karena menjelang idul fitri, sebagian besar masyarakat kita melakukan ritual sosial berupa mudik lebaran. Pada kondisi ini, amil bisa mengalihkan hak orang tersebut kepada mustahiq yang lain. Namun, apabila dalam pertimbangan amil bahwa si mustahiq yang tidak mendapatkan jatah akan memicu keresahan sosial di kemudian hari, misalnya permusuhan dan pertengkaran, maka amil dapat menyerahkan kepada tetangga yang amanah atau disimpan oleh amil untuk diberikan kepada si mustahiq tersebut setelah hari lebaran. Dalam aturannya, zakat fitrah memang harus diserahkan sebelum shalat idul fitri. Begitu pula pendistribusiannya diutamakan sebelum shalat id kecuali adanya pertimbangan darurat.

Masalah ketiga adalah status zakat fitrah berupa uang. Masyarakat kita masih bingung tentang status zakat fitrah berupa uang ini. Umumnya ulama, seperti Imam Syafi'i dan Maliki, mensyaratkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok karena tujuan utama zakat fitrah adalah mengenyangkan fakir miskin di hari raya idul fitri. Namun, Imam Abu Hanifah membolehkan untuk membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena manfaatnya lebih besar bai mustahiq. Sebagai jalan tengah, kita patut mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dimana kita berada. Kita dapat memberlakukan kedua pendapat tersebut secara proporsional sesuai dengan kebutuhan. Apabila masyarakat cenderung membayar dengan uang, maka pembagiannya pun bisa dalam bentuk uang, tidak perlu dirubah bentuknya menjadi beras. Namun, jika kecenderungan masyarakat memilih membayar zakat dalam bentuk beras, maka amil dapat merubah uang menjadi beras sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pihak amil. Dengan demikian, masyarakat akan tetap terlindungi dari perbedaan pendapat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction