Jumat, 20 November 2009

IBADAH KURBAN: UPAYA MENGINSANKAN MANUSIA

Assalâmu‘alaykum wa rahmah Allâh wa barakâtuh

Maha besar Allah yang telah melimpahkan nikmat hidup kepada kita, sehingga di kesempatan pagi yang segar dan indah ini, kita dapat mempertautkan kembali hati kita sesama muslim saat beribadah shalat Idul Adha bersama-sama. Allah yang maha Agung, tiada pernah meninggalkan seditik pun mengasihi makhluk-Nya di jagat raya ini. Kegagahan dan keperkasaan-Nya yang tiada banding melunturkan pribadi-pribadi yang hendak menyaingi-Nya. Sungguh sangat kecil dan lemahlah kita jika mengingat dan merenungi hakikat kemanusiaan yang kita sandang.

Teriring shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada junjungan kita, nabi akhir zaman, penyempurna ajaran para rasul, nabi Muhammad saw, yang telah sukses menghantarkan kita ke pintu gerbang kemerdekaan yang hakiki, lahir dan batin. Kegigihan dan kejujuran sikapnya, kesederhanaan dan kebersahajaan pola hidupnya, serta kemuliaan dan keagungan akhlaknya, mampu menebas kejahilan dan kemerosotan moral yang merendahkan martabat umat manusia. Kita tidak bisa melupakan peran besarnya yang telah sukses dengan gemilang mengubah wajah dunia.

Ma‘âsyir al-Muslimîn rahimakum Allâh

Dalam rangka menunaikan ibadah shalat Idul Adha, marilah kita merenung tiga peristiwa penting yang terjadi secara bersamaan pada hari ini. Peristiwa pertama adalah serempaknya umat Islam melaksanakan shalat Idul Adha secara berjamaah di berbagai masjid dan lapangan. Semangat untuk melaksakan ibadah ini telah mengakar di masyarakat karena ritual tahunan yang satu ini menyiratkan kebersamaan dan keharmonisan hubungan antar individu yang mengaku beriman kepada Allah. Apa pun bangsa dan warna kulitnya tidak menghalangi keinginan untuk memadu kasih dengan sang pencipta di pagi 10 Dzulhijjah. Jagat raya terasa begitu bergema dan membahana seiring takbir, tahmid, dan tahlil yang berkumandang bersahut-sahutan di pelbagai pelosok negeri. Momentum yang penuh makna ini juga digunakan untuk merenung ulang semangat yang telah ditunjukkan oleh sang nabi pengembang ajaran yang hanif, Ibrahim as. Betapa perjuangan berat Ibrahim dalam mengubah pandangan dunia--yang seringkali harus mempertaruhkan jiwa raga, diri dan keluarganya--telah berbuah manis dengan dijadikannya ajaran Ibrahim sebagai inti dari ajaran yang disampaikan para nabi setelahnya. Ibrahim sang kekasih Allah telah menjadi penuntun umat manusia dan asal muasal tiga agama samawi terbesar dunia.

Ibrahim, Khalîl al-Rahmân, sang kekasih Allah, mendapat predikat tinggi di sisi-Nya, bukan merupakan prestasi yang tiba-tiba. Ia telah lulus dari berbagai cobaan yang menghampirinya. Antara lain, di saat mengarungi hidup rumah tangganya, Ibrahim sangat merindukan kehadiran buah hati, hingga di pernikahannya yang kedua dengan siti Hajar. Dan harapan itu baru tercapai di saat usianya yang telah senja.

Ujian berikutnya adalah Ibrahim diperintahkan untuk mengungsikan istrinya, siti Hajar dan putra semata wayangnya, Ismail, ke tanah yang tandus dan kering, kota Makkah. Saat itu belum banyak orang yang tinggal di sana. Panas yang terik dan jarangnya pepohonan menjadikan kota Makkah sebagai kota yang gersang dan lengang. Hajar sempat bertanya apa gerangan yang membuat Ibrahim tega meninggalkannya bersama putra kecilnya yang masih butuh kasih sayang ayahnya. Ibrahim menjawab bahwa hal itu dilakukan dalam rangka melaksanakan perintah Allah swt.

Hadirin yang mulia

Siti Hajar dengan tabah merawat Ismail dalam hari-hari yang sepi dan mencekam. Hingga suatu saat, perbekalan telah habis dan Ismail pun menangis. Tidak ada lagi persediaan yang dapat mereka konsumsi. Di tengah kehausan yang menjadi, terbersitlah di hati Hajar untuk berusaha mencari air yang barangkali dapat ia temukan di suatu tempat di dekatnya. Saat melihat Bukit Shafa, seakan tampak di mata Hajar genangan air di atas gurun pasir. Ia pun lari ke sana. Namun yang ia temui hanya hamparan tanah bebatuan yang panas dan tandus. Saat ia berbalik, ia melihat fatamorgana di bukit Marwah yang menyerupai air. Setelah bolak-balik sebanyak tujuh kali, yang kemudian diabadikan dalam ibadah sa’i, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan mengalirkan air zam-zam di dekat kaki Ismail. Dengan adanya air tersebut, Makkah kini menjadi tempat yang makmur dan aman sebagaimana doa Ibrahim dalam surat Ibrahim: 35:

Ya Allah, jadikanlah kota ini kota yang makmur dan aman, dan berilah penduduknya buah-buahan.

Berikutnya hadirin yang berbahagia.

Ujian yang ketiga adalah Ibrahim harus menyembelih Ismail sebagaimana yang ia lihat dalam tiga kali mimpinya. Dan ia harus menyembelih Ismail dengan tangannya sendiri. Inilah ujian yang sangat berat bagi Ibrahim. Sebagai seorang ayah, tentu tidak mudah baginya melaksanakan perintah itu. Anak yang selama ini ia dambakan kehadirannya, kemudian ditinggalkannya di kota Makkah, harus ia bunuh dengan sembelihan tangan sendiri. Kalaulah bukan karena cintanya yang tulus kepada Allah, niscaya Ibrahim tidak akan kuasa melakukannya. Setelah Ibrahim dan Ismail berpasrah diri kepada Allah, perintah itu pun dilaksanakan dengan ikhlas. Dan dengan kekuasaan-Nya, Ismail diganti oleh Allah dengan seekor kambing yang gemuk dan sehat.

Dalam cerita yang masyhur, kambing yang akhirnya disembelih Ibrahim adalah binatang yang pernah dipersembahkan oleh Habil, saudara Qabil. Peristiwa ini bermula saat kedua anak lelaki Adam beranjak dewasa dan memperebutkan Iqlima, putri Adam yang cantik jelita, kembaran Qabil. Dalam kesepakatan yang dibuat waktu itu, barang siapa yang persembahannya diterima oleh Allah, maka ia berhak menikahi Iqlima. Habil pun memilih domba terbaik yang diternakannya sedangkan Qabil memberikan hasil pertaniannya yang kurang berkualitas. Alhasil, persembahan Habil pun diterima yang ditandai dengan lenyapnya domba Habil bersama kilat yang menyambarnya.

Hadirin yang berbahagia,

Peristiwa kedua yang terjadi pada hari ini adalah ibadah haji di tanah suci Makkah al-Mukarramah yang dilaksanakan oleh kaum muslimin. Kegiatan ini dapat dikatakan sebagai mu’tamar dunia umat Islam yang dihadiri oleh berbagai suku bangsa dengan aneka bahasa dan rasnya, yang menyuarakan nada yang sama: takbîr, tahmîd dan tahlîl. Suaranya membahana, seirama, dan setujuan, yaitu menyahut panggilan Allah swt.

Haji adalah ibadah besar yang sangat membutuhkan kekuatan jasmani selain kekuatan iman yang melandasinya. Semua kegiatan yang dilaksanakan di sana dapat bernilai sebagai ibadah selama dilakukan dengan penuh tulus ikhlas. Penyucian diri, lahir dan batin, terutama saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah kemarin, menjadi salah satu pengalaman yang tak terlupakan bagi setiap jamaah haji. Di sana, mereka dapat mengakui segala dosa yang pernah mereka perbuat. Tangisan taubat terjadi di mana-mana karena rasa haru, berbaur kagum dan gembira. Juga, dalam suasana seperti itu, hati tercekam oleh keagungan dan kebesaran Allah, sehingga terasa benar tuntunan rasûl Allah yang menyampaikan wahyu Allah kepada umat Islam. Islam menentukan arah yang jelas kepada umat Islam agar mencapai tujuan hakiki. Kehidupan dunia hendaknya dijadikan jembatan dalam usaha mencapai tujuan tersebut. Kenikmatan duniawi tetap perlu diusahakan agar dapat hidup layak selaku manusia, hidup tenang, mempunyai kedudukan mantap, sehingga dapat ibadah dengan khusuk kepada Allah swt. Segala kenikmatan yang diperolehnya, dimanfaatkan untuk berbuat kebajikan kepada sesama manusia. Hidup seimbang, menunjukkan sikap taat kepada Allah swt. Usahanya selalu jadi amal, langkahnya selalu jadi ibadah, tak terlintas dalam benaknya untuk merampas dan iri kepada nasib orang lain.

Jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia!

Peristiwa ketiga adalah dipersembahkannya binatang kurban yang jumlahnya berjuta-juta bahkan bisa berpuluh-puluh juta. Jika kita cermati lebih mendalam, niscaya kita temukan hikmah besar di balik upacara penyembelihan itu. Kurban yang berarti mendekatkan diri kepada sang Pencipta, mengajak kita untuk menjadi umat manusia yang memiliki keagungan budi pekerti dan keluhuran akhlak sehingga membedakan diri kita dengan segala ciptaan yang bertebaran di jagat raya ini. Manusia yang secara khas dititahkan Allah sebagai khalîfah fîa l ardh, mengungguli makhluk canggih manapun, sehingga kelestarian dunia dan sustanebilitasnya menjadi salah satu tanggung jawabnya. Di sinilah uniknya ibadah kurban. Manusia yang merupakan hewan berakal (hayawân nâthiq) tidak bisa meninggalkan kodratnya yang sedikit banyak tercampuri watak hewan, yakni ingin suka berkuasa, merusak, dan mengandalkan kekuatan.

Hewan terkenal suka merusak. Ia akan menghancurkan apa saja jika keinginannya tidak tercapai. Ia bisa merobohkan rumah penduduk, merusak tanaman penduduk, bahkan bisa membunuh manusia demi terpenuhi kebutuhannya. Hewan juga suka mengandalkan otot daripada otak. Yang kuat adalah yang menang, sehingga hewan-hewan kecil yang tak berdaya harus tunduk patuh pada sang raja rimba jika masih ingin bertahan hidup. Begitulah, dengan menyembelih hewan, kita diharapkan dapat menyembelih sifat kehewanan kita yang tidak jarang menyebabkan kehancuran umat manusia secara umum. Darahnya binatang telah dialirkan untuk menunjukkan penghapusan kebengisan, kekejaman, dan kebinatangan yang sering melekat pada watak manusia. Sesungguhnya Allah telah berfirman, telah nyata bahwa kehancuran di muka bumi ini banyak diakibatkan oleh tangan-tangan jahil manusia.

Peristiwa qurban umat Islam di hari Idul Adha merupakan perwujudan taat kepada Allah swt, dan satu kegiatan sosial yang melambangkan kasih sayang kepada sesama umat, bahkan rahmah li al-‘âlamîn. Penyembelihan ternak qurban ini mempunyai dampak positif terhadap penyelesaian problema kemasyarakatan, di samping peningkatan jiwa semangat pengurbanan. Sebagaiman tercermin dalam tindakan nabi Ibrahim as sudah menunjukkan contoh bahwa beliau tidak ragu-ragu berqurban menyembelih putranya sendiri yang bernama Ismail.

Allâhu akbar, Allâhu akbar Allâhu akbar wa li Allâh al-hamd

Dari uraian di atas, dapat dipetik beberapa kesimpulan bahwa dengan semangat melaksanakan ibadah di hari raya Idul Adha ini, khususnya ibadah kurban, kita hendaknya dapat berintrospeksi diri, apakah kita sudah mampu menjadi insan utama yang memiliki sifat terpuji dengan menjalin hubungan yang baik dengan Allah, sesama manusia, dan sesama makhluk ciptaannya. Kita tentu akan lebih mulia jika kita dapat menekan sifat merusak dan menang sendiri seperti yang biasa dimiliki binatang. Dengan merenungi ibadah kurban di hari raya Idul Adha ini, kita berharap semoga kita dapat memanusiakan diri kita, menjadi manusia yang sempurna. Semoga khutbah singkat ini dapat bermanfaat bagi khatib khususnya dan bagi jamaah sekalian pada umumnya. Amin.

Akhîr al-kalâm, ihdinâ al- shirâth al-mustaqîm.

Wa al-Salâmu ‘alaykum wa rahmah Allâh wa barakâtuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction