Rabu, 30 Desember 2009

BERPIKIR SOLVENSI

Setiap hari selalu saja ada masalah yang harus dihadapi setiap makhluk bernyawa di bumi ini. Gradasi problematikanya bisa terbentang luas dari tingkat ringan hingga akut. Tak pelak, pikiran dibuat pusing tujuh (puluh) keliling untuk menghadapinya. Ada sebagian yang tenang-tenang saja menjalani kehidupannya namun tak sedikit dari mereka yang mati-matian menahan hati agar tidak meledak akibat himpitan masalah yang menderanya bertubi-tubi. Alhasil, menata pikiran secara apik bisa menjadi salah satu alternatif pemecahannya.

Berpikir solvensi, ya berpikir solvensi merupakan salah satu solusinya. Cara berpikir semacam ini diawali dengan menempatkan masalah pada tempatnya secara tepat, tentu dibarengi dengan kepala dingin. Ketika seseorang kehilangan barang kesayangannya, sebagai misal, ia dengan mudah akan marah dan meluapkan kekecewaan atas lenyapnya barang kesayangannya. Ia akan menuduh orang-orang yang sebelumnya telah masuk daftar manusia yang patut dicurigai. Tanpa fakta, ia akan menyebut si A atau si B sebagai pencurinya. Tanpa disadari, sikapnya yang emosional bukan menyelesaikan masalah, tapi jstru memunculkan masalah baru. Ia bukannya lepas dari kemelut kehilangan barangnya, tapi justru ia memperbanyak konflik dengan banyak orang yang semakin menyakitkan hatinya.

Nah, sebenarnya ada cara lain yang bisa mengendalikan emosinya, yakni berpikir solvensi. Cara berpikir semacam ini merupakan cara berpikir yang beroerientasi pada penemuan solusi, bukan mencari kambing hitamnya tetapi bagaimana menatasi masalahnya. Contoh, pada sebuah perjalanan jauh, sebuah mobil tiba-tiba mogok total. Para penumpang jelas gelisah karena perjalanannya masih jauh dan hari mulai gelap. Bagi orang yang punya cara pandang solvensi, ia tidak menumpahkan kegelisahannya dengan marah-marah dan meratapi nasibnya yang malang. Ia justru berpikir tenang dan mencoba mencari bengkel terdekat yang dapat membantunya. Walau sebenarnya dalam batinnya ada rasa kalut, tapi ia menganggap bahwa kalut yang diekspesikan dengan marah dan ratapan tidak dapat menyelesaikan masalah. Ia harus segera mencari tahu orang yang dapat membentu menyelesaikan masalahnya, yakni tukang bengkel. Dengan ringan ia melangkahkan kaki menuju kerumunan orang yang duduk-duduk di jalan. Ia pun bertanya barang kali ada yang tahu bengkel terdekat. Ternyata, pertolongan mulai datang. Ada orang yang tahu bengkel terdekat dan bahkan siap mengantarkan untuk menjemput si tukang. Ketika tukang datang dengan sejumlah peralatannya, mobil ternyata belum juga bisa dibenahi. Bagi si emosian, ia makin meraung kebingungan. Hari sudah tengah malam. “Kenapa ini kok menimpaku?”, begi gerutunya. Lain halnya orang yang berpikir solvensi, sambil menunggu tukang bekerja keras, ia berpikir mencari informasi tentang penginapan yang dekat dan murah. Ia tahu kalau bermalam di dalam mobil, jelas tidak nyaman, lebih baik mencari tempat penginapan yang bisa menampung mereka semalam ini.

Ternyata, dengan kesabaran dan ketekunan sang tukang yang tulus membantu tanpa diganggu dengan berisiknya keluhan, mobil bisa diatasi sementara dan bisa berjalan kembali. Nah, terbukti bahwa berpikir solvensi yang selalu mencari solusi dapat menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru. Kalau sudah begini, siapa yang mau berpikir solvensi, ia akan tenang dalam menghadapi segala maslaah hidupnya. Ia akan bisa tersenyum di antara tumpukan masalah yang menghadangnya. Wa Allah A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction