Senin, 25 Januari 2010

GURU KEHIDUPAN

Pernahkah kita merenung siapa sebenarnya orang yang paling berpengaruh dalam hidup kita hingga detik ini? Secara ideal, seorang muslim nampaknya harus meletakkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh idolanya. Ya, nabi akhir zaman ini telah memberikan suri tauladan yang baik dan sempurna untuk kita dan bahkan untuk seluruh umat manusia. Beliau telah diakui sebagai tokoh nomor satu paling berpengaruh sepanjang zaman. Namun, ada satu hal yang sulit kita peroleh dari beliau, yakni visualisasi akhlak mulia itu dalam realitas kehidupan.

Dalam teori pendidikan, contoh langsung memegang kunci penting dalam upaya mentransfer sebuah perilaku atau pengetahuan. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu dunia pendidikan kita secara massif digerakkan untuk mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Itu artinya, bahwa kompetensi yang memang harus dimiliki peserta didik perlu dikaitkan dengan realitas kehidupan, bukan semata-mata hanya dalam tataran teoritik. Murid harus dibawa ke alam bebas untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa alam agar lebih memahami apa yang diajarkan di kelas. Begitu pula dalam hal etika, murid harus diberi contoh oleh guru, kalau perlu diberi tugas untuk menyusun drama pendek tentang pentingnya menghormati orang tua, sebagai misal. Jika dikaitkan dengan visualisasi Nabi Muhammad sebagai ikon manusia sempurna untuk diteladani, nampaknya untuk saat ini agak sulit diwujudkan. Oleh sebab itu, cara termudah untuk melihat keagungan akhlak beliau dalam realitas dapat dilihat pada akhlak sejumlah ulama, kiayi, atau tokoh yang dapat diakses oleh siapa pun dan dimana pun.

Sehubungan dengan sosok idola, saya sebenarnya telah memiliki sejumlah nama yang telah berhasil mewarnai pola pikir dan kerja saya hingga saat ini. Sedari kecil, seperti anak-anak seusia saya waktu itu, saya sudah mampu menilai dan menentukan pilihan siapa tokoh terdekat yang berhasil mencuri perhatian. Waktu itu, saya kagum kepada guru matematika saya, yakni Pak Mahalli. Hampir seluruh murid di Madrasah Ibtidaiyyah tempat saya sekolah mengidolakan beliau. Beberapa sifat mulia yang beliau tunjukkan kepada kami adalah sikap sopan, lembut, murah senyum, tidak pernah marah, dan penyayang, di samping secara fisik, orangnya gagah dan tampan. Oleh sebab itu, saya waktu itu sempat berpikir, mungkin ini adalah nabi Muhammad yang datang pada masa saya.

Seiring perkembangan waktu, saat saya memasuki sekolah Madrasah Tsanawiyyah, saya kembali menemukan sosok baru yang alim, penyabar, dan dihormati. Beliau adalah guru pelajaran akhlak dan al-Qur’an bagi kami di kelas. Namanya pak Anam. Saya selalu dibuat kagum oleh cara beliau mengajarkan nilai-nilai agama dengan metode yang sangat mudah kami pahami. Hampir seluruh murid mengidolakan beliau. Bagi saya, beliau adalah pengganti pak Mahalli yang telah lebih dulu saya idolakan. Tetapi, pak Anam memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang ilmu agama. Beliau adalah alumnus pesantren. Di akhir studi, saya sempat belajar kitab kuning Fathul Qarib secara mandiri di rumah beliau sebagai persiapan saya untuk ujian masuk Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang. Saya sungguh berhutang budi kepada beliau karena materi yang beliau ajarkan kepada saya merupakan materi yang diujikan dalam seleksi tersebut. Limpahan ilmu baca kitab yang beliau ajarkan merupakan bekal yang sangat berharga saat saya mondok kelak.

Ketika saya diterima di Madrasah Aliyah Program Khusus Denanyar, sosok “Nabi Muhammad” justru saya temukan dalam jumlah banyak. Pertama-tama yang saya kenal adalah ustad Mughni, lalu ustad Najib. Begitu terkesannya saya kepada kedua guru saya itu membuat saya ingin menjadi seperti mereka. Ustad Mughni adalah guru bidang Bahasa Arab dan Tahfidz sedangkan Ustad Najib adalah guru bidang fikih. Ustad Mughni selaku pengasuh asrama sangat dekat dan sayang kepada seluruh murid tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Tidak ada satu pun dari kami yang luput dari kasih sayangnya. Semua sama dan semua rata. Adapun Ustad Najib adalah guru muda energik yang mampu membaca kitab kuning tanpa harus belajar terlebih dahulu. Kalau boleh dibilang, beliau adalah sosok Gus yang memiliki bakat ilmu laduni. Saya semakin kagum saja kepada beliau. Adapun guru lain yang kemudian saya kenal dan mampu mewarnai hidup saya adalah pak Agus yang mengajar Bahasa Inggris. Meskipun beliau adalah orang yang disiplin dan keras, tetapi kemampuan beliau memformat Bahasa Inggris menjadi materi pelajaran yang menyenangkan telah membuat bakat saya di bidang ini menjadi sangat menonjol. Saya patut bersyukur kepada Allah yang telah memberikan sejumlah guru yang begitu gigih mencerdaskan anak didiknya hingga kami dapat meraih impian di kemudian hari.

Ketika saya melanjutkan kuliah di Jakarta, hidup saya terasa gersang. Dosen-dosen di UIN Jakarta tak satu pun yang mampu menyita perhatian saya. Ada satu dua memang, tetapi saya tidak berhasil menjadikan mereka sebagai idola. Banyak dosen yang bergelar profesor, tetapi menurut saya, mereka tidak bisa menjadi pengajar yang baik, apalagi berani dekat dengan mahasiswa. Mereka ibarat mesin yang hanya datang mengajar lalu pulang. Pola hubungan dosen-mahasiswa bersifat transaksional, ibarat antara pedagang dan pembeli. Ketika mereka telah mengajar di kelas, berarti tugas mereka selesai, seperti pedagang yang telah menyerahkan barang yang diinginkan pembeli. Persoalan apakah barang itu bisa digunakan atau tidak, berkualitas atau tidak, nampaknya, tidak menjadi perhatian mereka. Jujur, pada awal kuliah saya merasa kecewa dengan dunia kampus. Meskipun begitu, selama sepuluh tahun saya belajar di Jakarta, untuk program S1 dan S2, saya bisa mencatat beberapa dosen yang patut dikagumi. Pertama adalah Prof Amin Suma, dan kedua adalah prof Fathurrahman Djamil. Prof Amin adalah orang yang konsisten dengan ilmunya serta gigih dalam berkarya dan berkarir. Adapun prof Fathur adalah orang yang ramah dan kompromistis di samping kedalaman ilmu dan wawasannya.

Namun, di antara kekecewaan itu, ada sepenggal waktu yang sempat saya nikmati tentang profesionalitas dosen, yakni ketika saya mengambil kursus bahasa Inggris di IALF Bali. Kursus ini merupakan persiapan bahasa untuk mengambil magister jurusan Social Science dalam program Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) di UIN Jakarta. Ini adalah master kedua bagi saya. Di Bali, saya menemukan sosok guru ideal yang memiliki orientasi memajukan anak didik tanpa kenal lelah dan batas waktu. Beliau adalah Elisabeth Hunt. Liz begitu kami memanggil adalah guru senior asal Inggris yang memiliki telenta pengajaran yang mengagungkan. Dia mampu membawa suasana kelas begitu meriah dan hidup sehingga masa kursus selama enam bulan itu tidak terasa harus berakhir. Kami sangat terkesan dengan cara beliau melayani kebutuhan akademik setiap siswanya tanpa pamrih. Beliau selalu mengalokasikan waktu khusus untuk konsultasi bagi siswa untuk diskusi tentang apa saja. Beliau tak segan-segan pula memberikan saran kritik membangun kepada setiap siswa agar mereka mampu menguasai bahsa Inggris secara mahir. Saya merasa, ia adalah ibu kedua bagi saya. Kasih sayangnya kepada murid bak cinta kasih seorang ibu kepada anak-anaknya. Gabungan antara profesionalitas pengajaran dan totalitas pembimbingan Liz telah menjadikan beliau sebagai inspirator saya dalam pola pengajaran dan pembimbingan saya kepada mahasiswa saat ini.

Ketika saya kuliah di program Interdiciplinary Islamic Studies, saya menemukan satu lagi sosok yang luar biasa. Beliau adalah prof Buckley. Bule satu ini adalah dosen filsafat. Meskipun pada awalnya saya tidak begitu senang dengan filsafat, tetapi dengan metode pengajaran beliau, saya menjadi tertarik. Hal lain yang sangat mengagumkan dari beliau adalah metode pengajaran dan pelayanan kepada mahasiswa. Hampir sama dengan Liz, Prof Buckley menggunakan metode pendekatan personal dan emosional untuk menggugah semangat belajar mahasiswa. Satu peristiwa yang tidak akan saya lupakan selama interaksi dengan beliau adalah ketika saya sakit parah dan tidak bisa mengikuti kelas beliau. Saat mengumpulkan tugas, saya tidak bisa maksimal. Bukannya saya dimarahi, tetapi justru saya dipanggil ke ruangannya dan diajari cara mudah menyelesaikan masalah dalam soal itu. Dengan sabar beliau mengatakan bahwa tulisan saya termasuk sudah bagus, apalagi dibuat di saat kondisi fisik kurang mendukung. Lalu beliau memberikan beberapa cacatan jika saya ingin membuat tugas itu menjadi lebih sempurna. Saya senang sekali ketika pada akhirnya nilai A penuh diberikan kepada saya di akhir semester. Alhamdulillah, betapa mengagumkan pengalaman ini!

Begitulah, sekelumit cerita tentang orang-orang yang telah berjasa mewarnai hidup saya. Mereka telah mendedikasikan hidup mereka untuk generasi penerus yang lebih berkualitas. Saya tidak segan-segan menyebut mereka sebagai guru kehidupan. Mereka adalah “nabi Muhammad” dalam bentuk senyatanya pada zaman di mana saya hidup. Ternyata, ada satu kunci yang bisa saya tarik dari mereka, yakni melayani manusia dengan setulus hati tanpa pamrih. Andai saja saya bisa meneladani mereka, sungguh betapa bahagianya hidup ini. Wa Allah a’lam.

2 komentar:

  1. Guru kehidupan dalam pengalaman saya salahsatunya adalah panjengan. Anda adalah cerminan dari guru guru idola yang pernah anda favoritkan.

    BalasHapus

Introduction