Minggu, 21 Februari 2010

HALAQAH DI MASJID AL-MUKHLISHIN

Hari Sabtu-Minggu ini, kawan-kawan Jatisari sedang melakukan rihlah diniyyah ke Yogyakarta. Tujuan utama mereka adalah bersilaturrahmi dengan pengurus masjid Jogokaryan. Tempat ibadah yang satu ini memiliki keunikan,antara lain mampu menarik umat Islam untuk rajin berjamaah di masjid. Kabarnya, jumlah jamaah shalat subuh tidak kurang dari 400 orang. Hal ini tentu tidak biasa terjadi di kebanyakan masjid. Umumnya, jamaah Shubuh hanya diikuti oleh segelintir orang. Oleh sebab itu, studi banding ke masjid ini diharapkan akan mampu menyemangati kawan-kawan untuk memotori gerakan memakmurkan mushala dan masjid di kompleks perumahan Jatisari. Sungguh mulia misi mereka!

Saya sebenarnya sedih tidak bisa ikut serta ke Jogyakarta. Minggu ini saya harus ke Jakarta dalam rangka menyelesaikan urusan dinas. Untuk mengurangi kekecewaan, saya menghibur diri dengan berkunjung ke pesantren dekat rumah mertua saya di Bekasi. Siapa tahu saya mendapat pengalaman baru ketika berada di pesantren yang bernama ar-Ridwan itu. Pagi ini, setelah jamaah Shubuh di masjid pesantren, saya mengikuti halaqah yang dilakukan pada setiap ahad pagi. Kebetulan, pikir saya, kegiatan ini dapat berfungsi sebagai pelipur lara. Dalam acara pengajian rutin tiap pekan tersebut, jamaah dipimpin oleh salah satu ustad untuk membaca ratib al-Haddad. Bacaannya mirip dengan doa-doa yang biasa dibaca oleh para santri di ma’had UIN Malang selepas shubuh. Saya cukup familiar dengan tradisi itu.

Seusai membaca ratib al-Haddad, pengajian pun dimulai. Kali ini Ustad Ramli bertugas sebagai muallimnya. Pada awal pengajian, Ustad Ramli memberikan motivasi kepada hadirin untuk lebih rajin berjamaah di masjid. Pada umumnya, orang-orang sering terjangkit penyakit terburu-buru. Misalnya, seusai shalat maghrib, para jamaah biasanya langsung pulang. Beruntung jika kemudian mereka bisa kembali untuk mengikuti jamaah shalat Isya’. Namun seringkali ada saja alasan untuk tidak kembali ke masjid: ada tamulah, belum makan malamlah, mau nonton acara TVlah. Padahal, pahala jamaah shalat Isya lebih besar daripada pahala jamaah shalat Maghrib. Dalam sebuah riwayat hadis, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa pahala jamaah shalat Isya setara dengan pahala shalat sunnah separuh malam. Luar biasa! Oleh sebab itu, sang ustad menyarankan untuk bertahan lebih lama di masjid, khususnya ba’da shalat Maghrib hingga tiba waktu shalat Isya. Waktu antara Maghrib dan Isya’ termasuk waktu mustajabah, artinya waktu yang paling tepat untuk beribadah dan berdoa. Untuk itu, banyak pesantren yang mengadakan pengajian ba’da Maghrib sebagai ganti pengajian ba’da Isya’ demi meraih keutamaan waktu isya’aini itu (antara Maghrib dan Isya’).

Di samping mendorong jamaah untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya’ secara berurutan, ustad Ramli juga menyarankan untuk memperhatikan jamaah di waktu Shubuh. Di banding shalat Maghrib dan Isya’, pahala jamaah shalat Shubuh sebenarnya lebih menggiurkan. Dua rakaat shalat sunnah sebelum shalat Shubuh saja ganjarannya lebih baik daripada seluruh isi bumi dan langit. Apalagi jamaah shalat fardhu Shubuhnya, tentu lebih besar. Oleh sebab itu, hadirin diharapkan lebih rajin berjamaah di masjid sebagai bekal mengarungi kehidupan di akhirat.

Pada bagian lain, ustad Ramli menyatakan bahwa ada tiga golongan orang di muka bumi ini dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Pertama, manusia yang selalu memikirkan akhiratnya. Kelompok ini memandang bahwa hidup ini hanyalah jalan menuju kematian. Kematian pasti akan datang sebagai pintu gerbang bagi kehidupan yang sesungguhnya. Gemerlap dunia hanyalah jebakan bagi mereka agar mereka terlena untuk melupakan akhirat. Oleh sebab itu, kelompok pertama ini lebih menyukai hidup sederhana dan zuhud serta menghindari ambisi duniawi.

Kelompok kedua adalah manusia pertengahan. Meskipun mereka tahu bahwa hidup di dunia ini ibarat musafir yang hanya singgah sementara, tetapi mereka menggunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk bekal kehidupan di akhirat kelak. Mereka rajin bekerja namun tidak melupakan shalat lima waktu. Mereka gigih mengejar kekayaan tetapi tidak lupa membersihkan harta dalam bentuk zakat, sedekah, atau wakaf. Mereka rajin belajar hingga larut malam namun tidak segan berbagi ilmu dengan sesama. Singkat kata, kelompok ini mampu menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Terakhir, kelompok ketiga adalah kelompok pecinta dunia. Mereka berpikir bahwa manusia hidup di dunia ini harus mampu memanfaatkan dan menikmati segala fasilitas duniawi. Kehidupan dunia adalah nyata sedangkan kehidupan akhirat dianggap belum pasti karena belum ada orang yang mengalaminya dan oleh sebab itu masih diperdebatkan keberadaannya. Daripada nantinya menyesal tidak bisa merasakan indahnya gemerlap dunia, mendingan mereka menjadikan dunia sebagai bagian dari surga impian. Oleh sebab itu, mereka sangat mencintai dunia karena dunia telah berada di depan mata.

Dari ketiga tipe di atas, nampaknya, tipe yang direkomendasikan oleh sang ustad untuk manusia masakini adalah adalah pola kehidupan yang imbang antara dunia dan akhirat. Meskipun begitu, konsentrasi kepada akhirat patut mendapat perhatian ekstra karena kematian bisa datang kapan saja. Kesadaran bahwa kehidupan akhirat merupakan tujuan besar manusia, maka kehidupan dunia meskipun dilakukan sepenuh hati harus dijadikan semata-mata sebagai fasilitas untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Khalik. Dengan demikian, kita ajal tiba, seorang Muslim yang baik akan selalu siap mengakhiri hidupnya dalam situasi yang diridhai.

Setelah ustad Ramli menjelaskan secara detail tentang tiga model manusia tadi, pengajian pun ditutup dengan doa. Saya merasa mendapat pengalaman dan pengetahuan baru melalui halaqah di masjid al-Mukhlisin. Tidak sia-sia saya mendatangi masjid pesantren ini sebagai ganti dari masjid Jogokaryan. Satu hal yang menarik, setelah pengajian, para jamaah mendapat sarapan gratis berupa lontong sayur khas Betawi. Wah, lengkap sudah, peserta pengajian dapat ilmu pengetahuan plus perut kenyang. Siapa mau? Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction