Minggu, 14 Februari 2010

KISAH SILATURRAHMI KE MALANG

Lama nian saya tidak menikmati kota Malang. Kota sejuk ini telah mewarnai hidup saya lima tahun terakhir. Di sini saya mendapatkan pengalaman baru dalam bekerja dengan semangat berjuang dan berkorban yang selalu didengungkan pemimpin kampus. Begitu juga, saya memperoleh sejumlah kolega yang banyak bergelar kiyai. Suasana kampus yang dilengkapi dengan ma’had menambah suasana perguruan tinggi Islam negeri yang setahun lalu diresmikan presiden SBY itu semakin religius. Sebagai dosen baru yang belum lama ini genap lima tahun mengabdikan diri, saya patut bersyukur karena telah mendapat kepercayaan untuk mengendalikan sebuah lembaga yang bernaung di bawah rektor. Tugas ini sebenarnya berat, apalagi saya masih kuliah di Semarang dan merasa belum saatnya bergaul dengan orang-orang besar. Tetapi, amanah ini tentu harus saya jalankan sebaik mungkin agar kelak dapat menorehkan sejarah yang dapat dikenang oleh para penerus.

Bulan Februari ini saya mengambil kesempatan untuk berkunjung ke Malang bersama keluarga. Ini merupakan kali pertama saya melakukannya sejak mengasingkan diri untuk ‘bertapa’ di Semarang. Senang sekali rasanya ketika saya dapat menjalin tali silaturrahmi dengan kawan-kawan di kampus yang sudah lama tidak bertemu. Namun, ada hal lain yang tidak dapat saya tahan kebahagiaannya, yakni berkunjung ke tetangga di kampung saya bersama isteri dan kedua anak saya. Para tetangga itu begitu “histeris” ketika bertemu lagi dengan anggota keluarga saya. Pak Jo, misalnya, langsung menggendong Taqi, anak kedua saya, dan mengajaknya ke toko kue. Adapun bu Sum, istri pak Jo, memeluk isteri saya begitu erat dengan linangan air mata seperti sudah sewindu tidak bertemu (wah, seperti sinetron saja). Sekedar info, pak Jo adalah orang pertama yang menampung saya ketika awal-awal saya menginjakkan kaki di Malang. Waktu itu saya sedang mencari kos di sekitar kampus. Kebetulan ada kenalan baru sesama dosen yang rumahnya dekat dengan Pak Jo. Jadilah saya tinggal bersama mereka selama 1,5 tahun. Karena cukup lama bergaul dengan keluarga ini, mereka bahkan sudah menganggap saya sebagai anak sendiri. Saya sering mendapat makanan dan kue gratis (ini dia yang dicari anak kos…he..he).

Lain pak Jo, lain pula Pak Di. Keluarga pak Di saya kenal ketika saya memboyong keluarga ke Malang. Di rumah pak Jo saya hanya kontrak satu kamar, lalu saya mencari rumah kontrakan untuk keluarga saya. Rumah tersebut bersebelahan dengan rumah pak Di. Ketika anak kedua saya lahir, isteri saya membutuhkan teman untuk mengasuh bayi kami. Anak pak Di yang namanya mbak Us mau menerima tawaran kami untuk membantu merawat rumah dan bayi kami. Jadilah keluarga saya sangat akrab dengan keluarga pak Di. Ketika saya dan keluarga berkunjung ke rumah mereka kemarin malam, keluarga pak Di menyambut dengan hangat. Mereka bilang kalau anak-anak saya sudah besar. Tentu saja, waktu meninggalkan Malang, anak pertama saya baru berumur 3 tahun sedang anak kedua berumur 1 tahun. Jadi wajarlah kalau mereka sedikit ‘pangling’ dan kaget ketika kami datang. Saat kami pamit, mereka membawakan setandan pisang dan sejumlah pepes ikan. Ini dia yang saya cari. Saya benar-benar kangen pepes ikan buatan isteri pak Di. Mak Ni, begitu kami biasa memanggil, adalah penjual makanan dan sayuran di depan rumah. Dulu sebelum berangkat kerja, saya sering beli pepes ikan di warung mak Ni. Rasanya saya bernostalgia ketika mencicipi pepes ikan kesukaan saya itu. Ummm lezat banget lho kalau dimakan pakai nasi hangat!

Ada satu hal lagi yang ingin saya ceritakan di sini. Beberapa hari terakhir, saya disibukkan dengan tugas-tugas kantor yang harus segera saya selesaikan. Saya bahkan perlu merelakan diri berlama-lama di kampus untuk melengkapi berbagai berkas administrasi. Khusus hari Sabtu kemarin, saya baru bisa pulang sekitar pukul 18.00 WIB. Lelah rasanya setelah mondar-mondar antara kantor Syariah, Rektorat, tempat foto kopi, dan kantor el-Zawa. Saya harus menemui sejumlah orang untuk berkonsultasi dan rapat kerja untuk persiapan kegiatan sebulan mendatang. Saya juga harus menginput sejumlah data ke komputer sehingga saya tidak bisa pulang tepat pada waktunya. Pada saat saya mau pulang, kendaraan yang menuju rumah saya sudah tidak ada. Cuaca pun sedang tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur kota Malang sejak siang hari. Saya tahu, kalau saya tidak pulang segera, saya tentu harus menunggu hujan reda hingga larut malam. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang saja meski harus berjalan kaki dan berlindung di bawah payung. Jarak yang harus saya tempuh tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2 km, lumayan untuk sekalian olah raga. Saya dulu memang sering berjalan kaki sebelum memiliki sepeda motor. Jadi, itung-itung membangkitkan kenangan masa lalu.

Saat saya berjalan menuju rumah, tiba-tiba ada seorang pengendara motor berhenti di depan saya. Saya agak kaget setelah saya tahu bahwa dia adalah mahasiswa yang pernah mengambil mata kuliah saya. Saya kira dia hanya ingin melepas rindu untuk sekedar bercengkrama dengan saya karena telah lama tidak bertemu. Saya juga sudah lupa namanya. Dia turun lalu memberikan kunci motor itu kepada saya. “Apa maksudnya ini?” tanya saya keheranan. Dia lalu menjelaskan bahwa saya diberi kesempatan untuk membawa motornya ke rumah saya. Dia kasihan karena saya harus berjalan jauh apalagi saat hujan. Ia rela berjalan kaki menuju kampus dengan payungnya dan menyerahkan motornya untuk dipakai sesuka hati saya. Saya bilang kalau besok saya akan balik ke Semarang dan saya tidak tahu harus bagaimana cara mengembalikan motornya itu. Si mahasiswa, yang akhirnya saya tahu namanya Aminudin, dengan senyum menyilakan saya untuk memakainya hingga besok malam. Dia memberi nomor selulernya untuk dihubungi sewaktu-waktu jika motor itu tidak diperlukan lagi. Saya terharu sekaligus gembira karena saya akhirnya dapat segera sampai di rumah dengan motor mahasiswa itu yang masih baru. Saya berpikir, kok masih ada mahasiswa yang peduli dengan dosennya yang sekian lama tidak bersua. Bahkan, saya juga heran, motor barunya bisa begitu mudah diserahkan kepada saya tanpa jaminan apapun. Alhamdulillah!

Begitulah, sejumlah kisah yang saya alami selama tinggal di Malang. Nanti malam, insya Allah, saya dan keluarga akan bertolak menuju Semarang dengan pengalaman baru yang tak terlupakan. Semoga besok, kami sudah sampai kembali di perantauan untuk meneruskan perjuangan yang masih panjang. Di Semarang, masih tersimpan kisah-kisah lain yang tidak kalah serunya bersama kawan-kawan istimewa saya di Jatisari. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction