Sabtu, 06 Februari 2010

MENJADI SEORANG MUJTAHID, WHY NOT?

Mujtahid merupakan salah satu kata populer dalam dunia fikih. Mujtahid diartikan sebagai posisi seseorang yang mampu menggunakan kemampuan intelektualnya untuk menggali hukum Islam dari sumber aslinya. Kegiatan mujtahid ini biasa disebut dengan ijtihad. Uniknya, rasulullah SAW menyatakan bahwa tidak ada yang salah dalam berijtihad, karena mujtahid yang benar dalam ijtihadnya akan mendapat dua pahala sedangkan bagi mujtahid yang salah dalam ijtihadnya akan memperoleh satu pahala. Dengan demikian, semangat berijtihad harus ditanamkan kepada setiap muslim agar mereka mampu mandiri dalam segenap kehidupannya.

Melongok literatur fikih, mujtahid dibagi dalam dua kategori besar, yakni mujtahid mustaqil (merdeka mutlak) dan mujtahid ghairu musthaqil (tidak merdeka). Mujtahid mutlak adalah mujtahid yang telah mampu menggali hukum Islam langsung dari al-Qur’an dan hadis. Mereka merupakan orang-orang yang mampu menciptakan metode (manhaj) berpikirnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Sederet nama tokoh yang menduduki posisi ini antara lain adalah empat imam madhab terkenal, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Mereka menjadi panutan para pengikutnya baik dari sisi metodologi istinbat hukum maupun substansi hasil ijtihad. Adapun mujtahid ghairu mustaqil (tidak merdeka) adalah mujtahid madhbab, yakni orang orang yang berijtihad namun mengikuti metode guru madhabnya yang berposisi sebagai mujtahid mutlak, dan mujtahid fatwa, yakni adalah mereka yang berkedudukan sebagai pengikut mujtahid mutlak dalam mengeluarkan fatwanya.

Ditinjau dari sisi komposisi pelakunya, ijtihad terbagi menjadi ijtihad fardi (sendirian) dan ijtihad jama’i (berkelompok). Ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilaksanakan oleh seorang mujtahid pribadi sebagaimana yang dilakukan oleh mujtahid mutlak. Adapun ijtihad jama’i adalah ijtihad kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang.

Pada masa sekarang, menjadi mujtahid mutlak atau mujtahid fardi sering dianggap sulit untuk dilakukan karena dasar-dasar hukum Islam, termasuk metode istimbatnya, sudah mapan. Saat ini tinggallah mujtahid ghairu mustaqil yang dikombinasikan dengan ijtihad jama’i yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Dalam ijtihad jama’i, sekumpulan orang melakukan ijtihad untuk memutuskan hukum sebuah masalah kontemporer yang sedang dihadapi, misalnya hukum bunga bank dan hukum rokok. Majelis Ulama Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Majelis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama adalah beberapa contoh model ijtihad jama’i. Metode mereka dalam memproduk sebuah hukum antara lain dengan menelaah ayat al-Qur’an dan Hadis, meneliti pendapat-pendapat ulama dalam literatur fikih, serta menggunakan jasa tenaga ahli yang terkait dengan bidang tersebut.

Masalahnya, untuk menjadi seorang mujtahid, dibutuhkan sejumlah kemampuan kompleks yang tidak selalu dimiliki setiap orang. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika seorang Muslim awam sedang menghadapi masalah agama yang harus segera diselesaikan? Jawabnya tentu, mereka diharapkan mau berkonsultasi dengan ahlinya. Namun, bagaimana jika ia tidak sempat berkonsultasi dengan tokoh agama? Misalnya, seorang laki-laki ingin melakukan shalat di bus, sedangkan air di kendaraan itu tidak tersedia atau hanya dalam jumlah terbatas. Apakah ia boleh bertayammum? Beruntung jika bis mau berhenti di rumah makan atau pom bensin. Namun bila tidak, bagaimana ia melakukan shalatnya? Di sinilah kemudian, Prof Amin Suma (dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta) mengatakan, bahwa seorang Muslim, apapun latar belakangnya harus berani mandiri dalam mengambil keputusan ketika dalam posisi sulit, misalnya dalam kasus tadi antara bertayammum atau shalat qadha’ (mengganti/melakukan shalat di waktu lain) ketika dalam perjalanan jauh. Ia tidak harus mencari tahu terlebih dahulu tentang posisi hukumnya kepada seorang ulama karena hal itu jelas tidak mungkin.

Itulah sebabnya, menjadikan masyarakat yang memiliki pengetahuan agama mumpuni adalah kewajiban semua pihak, terutama para dai. Namun, ada satu tujuan yang harus ditekankan di sini, yakni menjadikan masyarakat semakin mandiri, bukan malah menjadikan masyarakat semakin tergantung kepada seorang sosok kiyai atau tokoh agama. Dalam kasus sederhana, seorang ulama kampung semestinya tidak memonopoli seluruh aktifitas keagamaan, misalnya dari shalat jamaah, pengajian hingga tahlilan. Ia harusnya berbagi keahlian kepada masyarakat sekitar sehingga jika suatu saat sang kiyai itu meninggal atau tidak berada di tempat, masyarakat tetap dapat menjalankan rutinitas keagamaan tanpa kendala. Ini berarti tugas pokok kiyai adalah membuat masyarakat menjadi lebih mandiri. Dengan demikian, kiyai yang sukses adalah kiyai yang mampu menciptakan masyarakat yang tidak lagi bergantung kepadanya. Salah satu caranya adalah dengan pemberian materi yang berkaitan dengan semangat berijtihad.

Kesimpulannya, ijtihad selalu diperlukan dalam menjalankan kehidupan kita, khususnya dalam ranah ritualitas. Meskipun sulit, ijtihad harus diajarkan kepada seluruh umat Islam agar mereka mampu menyesaikan masalahnya secara mandiri. Peran dai atau kiyai adalah sebagai kontrol sekaligus motivator religi yang harus menjadikan masyarakat semakin cakap dalam kehidupan keberagamaannya. Akhirnya, menjadi mujtahid yang sesuai dengan kapasitasnya adalah tanggung jawab setiap Muslim sepanjang zaman. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction