Minggu, 04 April 2010

BELAJAR KERAMAHAN DARI PENJUAL ARLOJI


Hari Minggu ini saya dan keluarga jalan-jalan ke pasar Boja, di wilayah Kendal. Saya ingin mencari toko arloji untuk ganti baterei. Telah lama saya menanti kesempatan untuk memperbaiki jam tangan saya satu-satunya itu. Selama tidak ada arloji, saya hanya mengandalkan Hp sebagai penunjuk waktu. Repotnya, kalau Hp telah saya masukkan ke saku tas, sedangkan saya ingin segera mengetahui waktu, saya tidak bisa cepat melihat jam, sebab saya harus merogoh saku tas dulu barulah puas melihat waktu. Saya kadang agak kesal kalau ada orang yang menanyakan waktu. Kalaulah Hp sedang di saku baju atau celana, saya bisa cepat menjawab. Tetapi jika saya lupa menaruhnya atau Hp ketinggalan di rumah, hal ini bisa menjadi petaka besar…! Rasanya, tanpa arloji melingkar di tangan, saya menjadi sering linglung karena tidak bisa mengatur waktu.

Kebetulan pagi ini istri saya mengajak belanja ke pasar, langsung saja saya meniatkan diri untuk membeli batu baterei. Sesampai di pasar, saya mengantarkan istri berkeliling mengunjungi toko pakaian. Saya pun harus rela menjadi babysitter untuk kedua anak saya. Mereka harus saya awasi selama isteri memilih pakaian yang sesuai dengan selera. Ternyata butuh waktu lama juga bila seorang perempuan mencari apa yang diinginkan. Tapi karena sudah biasa, saya pun menikmati waktu sambil mendengarkan musik dari alunan Hp serta menyanyikan lagu-lagu Tasya bersama anak-anak. Tak terasa setengah jam berlalu dan isteri pun telah berhasil menenteng baju pilihannya.

Kini giliran saya untuk mencari penjual jam tangan. Tak jauh dari tempat itu, ada toko reparasi elektronik. Nampak beberapa jam dinding terpampang di sana. Saya pun menghampiri toko itu dan menanyakan ketersediaan batu baterei. Sayangnya, stok baterei yang saya inginkan sedang kosong jadi saya harus mencari toko lain. Saya pun tanya letak toko lain yang serupa. Sesuai petunjuk penjual jam tersebut, saya akhirnya menyusuri jalan lain yang cukup jauh. Tapi, karena saya sudah membulatkan tekad untuk memperbaiki jam tangan, saya rela berjalan kaki menyeberangi keramaian jalan raya sambil mengendong si sulung. Jalanan agak macet. Saya harus berjuang mencari sela-sela ruas jalan yang mungkin bisa dilalui. Setelah cukup lelah diterpa terik matahari, akhirnya saya dapat menemukan toko yang dimaksud. Karena pembelinya cukup banyak, saya harus sabar mengantri. Tak lama kemudian, si penjual menyapa dan mengulurkan tangan. “Silakan, Pak. Ada yang bisa dibantu?” Tanyanya. Saya merasa agak aneh, sepertinya tidak biasa seorang penjual mengulurkan tangan,kecuali kalau sudah kenal betul. Saya pun menyambutnya dan saya katakan bahwa saya sedang mencari batu untuk arloji. Ia pun menjawab kalau ada beberapa jenis baterei, dari yang murah hingga yang mahal. “Yang bagus sekalian, Pak! ” Jawab saya. Ternyata, baterei yang bagus itu harganya hanya Rp. 20.000,-. Rasanya sama dengan bateri jam saya sebelumnya. Dulu waktu jam saya mati, saya juga mengganti baterei seharga itu. Saya pun sepakat membeli baterei yang katanya “mahal” tersebut.

Sambil menunggu jam saya diperbaiki, ia mulai membuka percakapan lebih jauh. “Bapak tinggal di mana? Asalnya dari mana? Berapa putranya?” Dan seterusnya. Saya merasa tidak nyaman. Apa sih perlunya dia mengetahui latarbelakang saya? Toh, saya mungkin tidak akan kembali lagi. Saya pun menjawab sekenanya, tidak harus jujur, pikir saya. Beberapa saat kemudian, ia menyodorkan segelas teh hangat. Wah, saya kian tersanjung. Baru kali ini saya belanja sambil disuguhi teh manis. “Silakan diminum, itung-itung sedekah, Mas!” ia memanggil saya ‘Mas’ setelah ia tahu kalau saya orang Jawa Timur, biar nampak lebih akrab katanya. Anak saya yang sejak tadi kepanasan langsung meminta teh itu, lumayan bisa menghilangkan dahaga. Isteri saya yang sejak dari tadi bersikap waspada mengingatkan saya untuk memperhatikan proses pemasangan arloji, jangan-jangan ada komponen mesin yang diganti. Sudah banyak saya dengar manisnya seseorang yang baru di kenal pada awal pertemuan ternyata akhirnya berbuah petaka, seperti kasus pembiusan penumpang di kereta api. Tetapi, saya tidak su’udhan, sebab jam saya bukanlah jam mahal dan tergolong sudah tua. Saya membelinya pada tahun 2003 saat kursus di IALF Bali seharga Rp. 125.000,-. Tentunya jam itu sudah saatnya pensiun namun saya tidak ingin beli arloji baru karena terkenang nilai sejarah jam tersebut.

Setelah baterei diganti, saya diberi kuitansi pembelian yang isinya antara lain menyatakan bahwa baterei yang saya beli bergansi satu tahun. Wauw! Saya merasa baru kali ini ada baterei yang bergaransi hingga satu tahun. Jika belum satu tahun lalu jam saya mati, maka saya akan mendapat ganti baterei secara gratis. Wah, seperti beli barang elektronik yang mahal saja. Tapi, inilah sebuah pengalaman unik yang saya rasakan hari ini. Berkali-kali saya bertanya dalam hati, banyak sekali pengalaman menarik yang saya rasakan selama tinggal di Semarang ini, dari mulai bergaul bersama kawan-kawan shalih di Jatisari, mengisi sejumlah pengajian, pak kos yang baik hati (saya dan keluarga dibebaskan tinggal di rumah kontrakan 2 bulan ke depan tanpa bayar), hingga keramahan orang termasuk penjual arloji yang sangat jarang saya temui.

Dari pengalaman ini ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan,

Pertama, tidak semua penjual hanya berorientasi kepada keuntungan. Uluran tangan, segelas minuman, dan garansi adalah bentuk penghormatan kepada pembeli. Bahkan, saya sempat ditawari rokok jika saya mau. Kalau dikalkulasi, tentunya keuntungan pedagang itu akan berkurang dengan harus memberikan servis lebih. Mungkin, ia ingin memberikan kesan positif sehingga pembeli akan senang dan kembali ke toko itu suatu saat nanti.

Kedua, adanya semangat sedekah yang dimiliki penjual arloji itu. Saya kagum kepada penjual itu, khususnya di saat menyuguhkan teh ia mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk dari sedekah. Bagi saya yang biasa bergelut di bidang filantropi, kata sedekah yang diucapkan menjadi catatan menarik. Rasulullah pernah bersabda “Pancinglah rezeki dengan sedekah.” Betul, pedagang ini memiliki pelanggan yang cukup banyak dibanding pedagang serupa di pasar itu. Ini membuktikan bahwa sedekah selain dapat menolak bala’ juga berfungsi untuk memperlancar rezeki.

Ketiga, pedagang ini yang akhirnya saya tahu namanya pak Teguh termasuk pedagang yang istiqamah. Ia memulai usaha berjualan arloji sejak 28 tahun yang lalu. Kini ia memiliki dua karyawan. Ia mampu menghidupi keluarganya: seorang istri dan empat orang anak dengan hanya berjualan dan servis jam tangan. Ia sangat yakin, Allah yang Maha Kaya akan membagi rezeki yang cukup bagi mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction