Selasa, 13 April 2010

BERKELANA


Seperti janjinya, gus Muh ingin menemui cak Midun sehabis shalat Isya'. Ia sudah pamitan ke yuk Ning kalau malam ini ia ingin bercengkrama dengan kawan-kawannya di mushalla. Bahkan ia sudah menyiapkan singkong goreng hangat untuk menemani obrolan santai.

Gus Muh mencari-cari sosok cak Midun yang biasa berada di shaf depan. Kali ini gus Muh mengambil tempat di shaf kedua. Ia ingin sekali melanjutkan bicang-bincangnya dengan cak Midun tadi pagi. Setelah shalat usai, ia menunggu dengan sabar selesainya cak Midun berdoa.

"Assalamualaikum, Gus..., apa kabar, sehat?"

"Wa alaikum salam, Cak..., alhamdulillah, baik."

Keduanya melanjutkan topik tadi pagi. Kadang-kadang terdengar gelak tawa di antara mereka. Kang Karyo yang biasanya langsung pulang ikut nimbrung sambil mencicipi singkong.

Setelah beberapa saat berdialog tentang seputar pengalaman hidup, percakapan itu berlanjut dengan pembicaraan yang agak serius.

"Gus, kalau boleh, saya ingin konsultasi tentang rencana saya untuk ke luar Jawa."

"Lho, kok ndadak, tho, Cak? Saya ini sudah kadung senang bisa ketemu cak Midun, kok malah mau pergi. Saya ingin belajar ngaji, Cak." Gus Muh keceplosan tentang niatnya ingin mengaji. Tadi siang yuk Ning telah menyarankan dirinya untuk meminta waktu cak Midun mengajari mengaji. Siapa tahu, cak Midun bersedia. Rencananya, niat itu akan disampaikannya di akhir percakapan. Namun sayang, cak Midun ternyata mau pergi, jadi ia sampaikan saja niatnya itu segera agar cak Midun menunda keberangkatannya.

"Maafkan saya, Gus. Rencana ini sebenarnya sudah lama. Tapi, baru sore ini keputusan itu saya ambil. Pak Lek saya di Kalimantan membutuhkan tenaga saya untuk mengabdi di pesantren. Di sana, pak Lek berjuang sendirian. Berkali-kali saya diminta untuk membantunya untuk mengelola pesantren."

Gus Muh berusaha meredam kecewanya. Ia sadar bahwa setiap orang berhak berkembang sesuai dengan cita-citanya. Mumpung masih muda, biarlah cak Midun berkelana. Cak Midun yang jebolan pesantren Lirboyo memang layak untuk menjadi ustad. Cara bicaranya santun, raut mukanya teduh, tatakramanya sopan, pendeknya setiap orang yang melihatnya akan senang dengan pancaran auranya. Oleh sebab itu, ia harus ikhlas dan bahkan perlu mendoakan agar cak Midun selamat dan sukses di tempatnya yang baru.

"Baiklah, Cak. Saya ikut mendoakan semoga cak Midun kerasan dan berhasil mengembangkan pesantren di sana. Selamat jalan, Cak!" suara gus Muh lirih.

2 komentar:

  1. Ditunggu cerita selanjutnya gus . . . . .

    BalasHapus
  2. sambil nunggu cerita selanjutnya pasti ada ilmu baru yang siap diturunkan

    BalasHapus

Introduction