Rabu, 19 Mei 2010

DIKERJAI PAK HAJI


Selama di Malang, biasanya saya menginap di kantor. Di sana sudah ada kasur busa dan bantal empuk pemberian takmir masjid kampus. Namun, tadi malam saya ingin menginap di rumah saya yang sudah lama tak berpenghuni. Itung-itung sambang. Meskipun sudah lama saya tinggalkan, kondisi rumah nampak terawat dan bersih. Itu tidak lepas dari peran Mbak Warlin, tetangga sebelah, yang setia menjaga rumah saya selama ini. Ditemani suasana Malang yang sejuk, saya dapat tidur lelap hingga terdengar adzan subuh.

Ada pengalaman menarik pagi ini. Saat adzan subuh berkumandang, saya biasanya bergegas menuju masjid yang berada agak jauh dari rumah. Di sana saya akan bertemu dengan para jamaah yang sudah lama akrab karena saya dulu kos di sekitar masjid itu. Pak Jo dan bu Sum—pemilik kos tempat saya dulu tinggal--yang rajin ke masjid biasanya sangat senang melihat saya datang. Mereka sudah saya anggap sebagai orang tua saya di Malang. Namun, pagi ini saya ingin punya pengalaman lain. Saya tidak ke masjid itu, tetapi ke mushalla dekat rumah. Kabarnya mushalla itu milik pak haji Muslimin, salah satu tokoh masyarakat yang kaya. Saya memang tidak pernah ikut jamaah di situ sebab merasa tidak nyaman dengan label mushalla keluarga tersebut.

Dengan sedikit ragu, saya memberanikan diri masuk mushalla itu. Di sana sudah ada pak haji dan bu haji yang sedang mendirikan shalat qabliyah subuh. Dengan tenang, saya ikut menjalankan shalat pengiring itu. Tak lama kemudian, pak haji memegang mikrofon dan membaca iqamat. Saya lalu berdiri dan menunggu beliau menuju ruang pengimaman. Tanpa saya duga, saya dipersilakan untuk menjadi imam. Saya yang tidak pakai songkok ini sempat kaget. Namun, karena dipaksa, saya pun menjalankan tugas tersebut (untungnya saya sering ditembak oleh kawan-kawan Jatisari Elok untuk memimpin shalat, jadi sedikit terbiasa dengan suasana under pressure…hehehe). Saya harus segera menata hati bahwa saya sedang shalat bersama pak Haji yang bertradisi nahdhiyyin kental. Saya harus ingat untuk menyelipkan bacaan qunut dan siap memimpin wirid ( Wah, padahal selama di Semarang, tradisi itu sudah jarang saya lakukan. Untungnya masih hapal..hehehe, jadi nggak malu-maluin).

Setelah saya berhasil menunaikan tugas dadakan itu, saya coba memperhatikan jamaah yang hadir waktu itu. Ternyata di sana ada para tokoh yang biasa memimpin pengajian dan tahlil. Saya pernah melihat mereka dulu sewaktu saya aktif mengikuti pengajian malam Jumat. Namun, jelas mereka tidak mengenal saya karena saya termasuk penduduk baru di kampung itu. Wah, gimana kesan mereka kepada saya yang kurang sopan ini, mengimami tanpa kopiyah. Songkok merupakan salah satu piranti wajib pakai saat shalat. Tapi, sudahlah, itu bukan kehendak saya, tetapi keinginan pak haji. Setelah bersalam-salaman saya pun meninggalkan mushalla itu dengan lega. Wah, asyik juga pagi-pagi dikerjai pak haji. Saya berharap, suatu saat nanti, saya bisa lebih dekat menjalin silaturrahim dengan keluarga pak haji sehingga saya lebih mudah diterima di masyarakat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction