Sabtu, 19 Juni 2010

ANALISIS HUKUM TENTANG WAKAF UANG PADA TABUNG WAKAF INDONESIA

A. Jenis Uang
Dari segi jenisnya, wakaf uang yang dilaksanakan oleh TWI adalah wakaf uang logam dan uang kertas. Uang logam yang dimaksud adalah uang logam yang bernilai penuh, yaitu uang dinar. Kebetulan, TWI juga membuka kounter Wakala al-Wakif untuk jual beli uang dinar dan dirham sebagai salah satu jaringan Wakala Induk Nusantara. Dana yang masuk ke TWI dalam bentuk dinar atau dirham langsung dikonversi ke dalam rupiah. Adapun uang kertas yang diterima TWI adalah uang kertas rupiah.
Memperhatikan jenis uang yang diterima TWI, TWI dapat dikatakan telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. Pasal 22 menyebutkan bahwa wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah. Apabila uang yang diwakafkan dalam bentuk mata uang asing, semisal dinar, maka TWI sebagaimana pasal itu telah mengkonversikan terlebih dahulu ke mata uang rupiah.

B. Jenis Wakaf Uang
Uang yang telah diterima oleh TWI dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: wakaf uang untuk produktif dan wakaf uang untuk non-produktif. Wakaf uang produktif adalah dana wakaf uang yang diterima TWI untuk pengembangan usaha yang menghasilkan keuntungan, seperti kongsi dengan Bakmi Langgara, kongsi dengan Kampoeng Ternak dan pendirian Food Court (pusat makanan). Adapun wakaf uang untuk non-produktif adalah wakaf berupa uang yang kemudian dirubah bentuknya menjadi aset, seperti gedung LKC, gedung sekolah Smart EI, dan saat ini sedang membangun gedung Rumah Sehat Terpadu.
Model pembagian ini kemudian dikritik oleh sebagian praktisi wakaf, seperti Masykuri Abdillah yang mengatakan bahwa TWI telah menggunakan dana wakaf uang untuk pembelian aset non-produktif, bukan menunggu hasil pengelolaannya. Ketika wakaf uang diinvestasikan dalam bentuk misalnya Wisma Mualaf, hal ini jelas tidak akan memberikan keuntungan materi. Padahal, inti wakaf uang adalah menjadikan modal dan mendistribusikan hasil, bukan menggunakan wakaf uang untuk modal yang statis. Dengan demikian, inti dari wakaf uang adalah adanya investasi, seperti tergambar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. PP ini meniscayakan investasi wakaf uang di bank syariah atau produk lain di luar bank syariah yang telah dicermati secara komprehensif dan dijaminkan kelestariannya dengan asuransi syariah.

C. Prosedur Penerimaan Wakaf Uang
Dalam tataran hukum positif, wakaf uang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 termasuk wakaf benda bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi termasuk di dalamnya adalah uang. Undang-Undang tentang Wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti konglomerat. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Adapun benda bergerak berupa uang secara khusus dijelaskan dalam pasal 22 dan 23 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam pasal 22 disebutkan bahwa wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya, menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan, menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU, dan mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.
Pasal 23 menjelaskan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Mencermati beberapa kutipan di atas, nampak jelas bahwa program wakaf uang yang dilakukan oleh TWI telah sesuai dengan Peraturan Menteri Agama. TWI yang merupakan nadzir lembaga berbadan hukum menerima dana wakaf berupa uang Rupiah dari masyarakat luas.
Permasalahan yang muncul adalah TWI bukanlah bagian dari LKS-PWU yang disahkan Menteri Agama. Dalam pasal 22 ayat (3) dijelaskan bahwa wakif harus hadir di LKS-PWU untuk menyatakan kehendak wakaf yang kemudian akan memperoleh formulir kehendak wakaf yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta ini merupakan bukti otentik terjadinya wakaf yang kemudian dapat menjadi landasan dikeluarkannya Sertifikat Wakaf Uang. Ketika disadari demikian, maka TWI sepertinya tidak berhak menerima wakaf uang, kecuali TWI berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari LKS-PWU, dengan cara TWI menerima wakaf uang dari masyarakat lalu menyerahkan kepada LKS-PWU untuk didayagunakan. Kemudian, hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai program-program TWI.
Di balik ketidaksesuaian TWI dalam prosedur penerimaan di atas, ada sejumlah alasan yang patut dipertimbangkan.
1. Bagi TWI, bank meskipun telah berlabel Syariah masih belum lepas dari praktik ribawi. TWI di bawah kepemimpinan Zaim Saidi berusaha keras untuk tidak menginvestasikan wakaf uang pada produk perbankan.
2. Dengan menerima dan memberdayakan wakaf uang secara langsung kepada masyarakat, para pedagang dan pengusaha dengan mudah akan dapat menikmati kucuran dana segar tanpa bunga.
3. Perputaran uang wakaf lewat perdagangan akan lebih terjamin kehalalannya dan lebih menguntungkan ketimbang dititipkan ke bank. Ketika dana wakaf uang diinvestasikan kepada kegiatan usaha masyarakat secara langsung, hal ini akan dapat memberikan suntikan dana sekaligus menggairahkan perekonomian mereka.

D. Prosedur Pendayagunaan Wakaf Uang
Saat ini, prosedur pendayagunaan yang dilakukan oleh TWI adalah TWI memberdayakan dana wakaf uang secara mandiri melalui program-program unggulan yang dibuat sendiri. Misalnya wakaf uang untuk dana pendidikan melalui sekolah Smart EI, dana kesehatan melalui Layanan Kesehatan Cuma-Cuma, atau untuk dana produktif melalui usaha Bakmi Langgara dan Food Court. Dengan begitu, TWI tidak perlu lagi bekerja sama dengan LKS-PWU dalam pendayagunaan dana wakaf uang masyarakat.
Ada beberapa ketidaksesuaian TWI dengan ketentuan hukum positif dalam proses pendayagunaan wakaf uang yang diterima. Di antaranya adalah:
1. Menerima wakaf uang lalu menginvestasikan sendiri tanpa menyimpan terlebih dahulu di LKS-PWU. Semestinya, jika mengikuti aturan hukum yang berlaku, khususnya PP Nomor 42 Tahun 2006, dana wakaf uang disetorkan terlebih dahulu ke LKS-PWU, barulah diambil hasilnya, atau kalau pun akan diinvestasikan di luar perbankan harus diasuransikan terlebih dahulu dengan menggunakan asuransi syariah.
2. TWI tidak menjamin bahwa dana wakaf uang yang diinvestasikan akan memberikan hasil dan induknya tetap. Juga, TWI belum pernah menggunakan asuransi syariah dalam pengelolaan wakaf uang. Misalnya, ketika mereka berkongsi dengan Bakmi Langgara, mereka mengandalkan sikap saling percaya dan selembar surat perjanjian tentang bagi hasil dan kerugian. Salah satu klausul dalam perjanjian itu adalah apabila Bakmi Langgara mengalami kerugian, maka kerugian hanya ditanggung oleh pihak Bakmi Langgara. Dengan demikian, dana wakaf uang akan tetap terpelihara.
3. Kesan sementara ini yang muncul adalah bahwa BWI ingin memonopoli pengelolaan wakaf uang. Masyarakat tidak boleh mengelola wakaf uang kecuali mendapat ijin dari BWI. Padahal, hingga kini, belum ada satu pun lembaga yang mengantongi ijin tersebut, termasuk TWI. Ini berarti masyarakat hanya bisa berwakaf uang tetapi tidak dapat menikmati hasilnya karena semua dana wakaf uang harus disetorkan ke rekening BWI.
Alasan TWI dalam proses pendayagunaan wakaf uang ini antara lain:
1. TWI memiliki fokus kepada penerimaan wakaf uang untuk dirupakan dalam bentuk aset. Dana wakaf uang yang diproduktifkan masih belum maksimal.
2. Para wakif memang menginginkan dananya disalurkan untuk kepentingan pembangunan yang sedang dilaksanakan TWI. Oleh sebab itu, dana wakaf uang lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan gedung dan perluasan tanah seperti kehendak mereka. TWI menyerahkan wakaf uang ke produk yang tidak menghasilkan (non-produktif) seperti LKC, sekolah Smart EI dan Wisma Mualaf.
3. Wakaf syuyu’i (kolektif) merupakan salah satu program unggulan TWI. Program ini bertujuan untuk membangun aset dengan cara membayar lewat uang, misalnya membangun gedung sekolah dan wisma mualaf. Kegiatan semacam ini dapat disebut sebagai wakaf melalui uang, bukan seperti wakaf uang yang disebutkan dalam Undang-Undang.
4. TWI tidak tertarik untuk menginvestasikan dana wakaf uang melalui bank. Bagi TWI, prinsip pendayagunaan adalah dengan mengaktifkan pasar dan pusat-pusat ekonomi masyarakat tradisional.
5. Ketika wakaf uang disetorkan ke LKS-PWU, uang akan diinvestasikan pada produk bank. Ini berarti hanya akan memperkaya pengelola bank dan mengurangi perputaran uang di masyarakat. Bank akan meraih keuntungan sedangkan masyarakat akan kekurangan modal. Namun, bila menggunakan cara yang diterapkan TWI, masyarakat akan mendapat modal segar dari dana wakaf uang.
6. TWI telah berdiri sejak tahun 2005 sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 baru muncul tahun 2006 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 baru lahir tahun 2009 yang kemudian disusul dengan penunjukan LKS-PWU. Dengan demikian, ketidaksesuaian praktik yang dilakukan TWI sebenarnya bukan karena tidak taat hukum, namun lebih karena aturan wakaf uang baru dibuat di Indonesia, beberapa tahun setelah TWI beroperasi. Dalam hal ini, nampaknya, TWI harus dengan besar hati menyesuaikan diri dengan aturan hukum yang berlaku ketika semua fasilitas teknis telah tersedia.

E. Beberapa Tawaran Solusi
Mencermati sejumlah ketidaksesuaian praktik TWI dengan perundang-undangan yang berlaku, beberapa solusi dapat ditawarkan untuk mengatasi berbagai masalah di atas, antara lain sebagai berikut.
1. Kalau bisa disepakati, wakaf uang dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni wakaf uang untuk aset (non-produktif) dan wakaf uang untuk usaha (produktif). Dengan demikian, praktik wakaf uang non-produktif seperti banyak dilakukan oleh masyarakat termasuk TWI akan mendapat payung hukum.
2. BWI seharusnya bersedia memberi kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam wakaf uang, termasuk memiliki nomor rekening khusus wakaf uang di bank Syariah, tanpa prosedur yang berbelit. Sebagai misal, ketika penulis mencoba membuka rekening di LKS-PWU (Bank Muamalaf dan Bank Syariah Mandiri di Jakarta), nampaknya fasilitas rekening khusus itu belum tersedia kecuali untuk nazhir atas nama BWI. Dengan demikian, lembaga lain semisal TWI belum bisa mendapat pelayanan khusus seperti yang dimiliki BWI, antara lain kepemilikan dua rekening berbeda antara rekening dana wakaf dan rekening hasil pendayagunaan wakaf (bagi hasil).
3. BWI seharusnya tidak memonopoli dana wakaf uang seperti saat ini, tetapi justru memberikan contoh baik dalam pengelolaan wakaf uang secara produktif. Selama 3 tahun masa kerja, BWI belum memiliki proyek percontohan (pilot project) yang konkret, kecuali saat ini sedang berencana membangun Rumah Sakit Ibu dan Anak di Tangerang.
4. BWI seharusnya lebih merakyat. Meskipun BWI terdiri dari para pakar dari berbagai bidang, semestinya BWI memberikan teladan kepada masyarakat, bukan malah mengecilkan peran lembaga lain yang telah susah payah membangun budaya wakaf uang di masyarakat. Kreatifitas masyarakat dalam pengumpulan wakaf uang perlu dihargai dan diwadahi.
5. LKS-PWU seharusnya tidak hanya menjadi kepanjangan tangan dari BWI, melainkan menjadi pelaksana dari wakaf uang bagi segenap lapisan masyarakat. Oleh sebab itu, mereka harus dapat melayani masyarakat umum yang ingin mengelola wakaf uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction