Sabtu, 25 September 2010

BERGURU DENGAN SANG 'SUHU'

Bertemu Mas Mun'im, saya seperti disadarkan kembali bahwa tugas mahasiswa adalah mendalami ilmu secara jeli dan tajam. Saya merasa bangga, senang, gembira sekaligus malu. Saya ditantang untuk berlatih menjadi manusia kritis yang harus mampu berpikir terstruktur dan logis. Contohnya, saya diajari untuk selalu bertanya ketika membaca buku. Model baca semacam ini akan melahirkan pikiran berantai untuk terus menelusuri jejak sejarah pemikiran hingga sebuah ujung. Menelaah, merenung, dan menulis disertai kerja keras dan doa adalah kunci sukses seorang ilmuwan.

Saya sesungguhnya sangat setuju ketika idealisme berpikir kritis dilakukan di negeri yang kaya buku dan sumber ilmu, Amerika. Perpustakaan Chicago benar-benar memanjakan para mahasiswa dan dosennya untuk selalu berkarya setiap saat. Jutaan buku dan jurnal baik online maupun cetak bisa diakses kapan saja dengan waktu peminjaman yang lama. Bagaimana tidak pandai dan maju? Ini mungkin salah satu jawaban kegelisahan saya yang ingin tahu penyebab kemajuan Amerika. Kalau Indonesia bisa memberikan kesempatan seluas-luasnya seperti di Chicago, saya yakin, manusia Indonesia pasti akan segera duduk satu meja dengan negara maju di pentas dunia. Mas Mun'im adalah salah satu contohnya. Ia berhasil mengalahkan profesornya dalam kompetisi tulisan imiah yang diselenggarakan sejumlah penerbit internasional. profesornya pun harus angkat topi atas kejeniusannya.

Meskipun begitu, mas Mun'im ibarat seorang suhu. Tinggal di rumahnya selama tiga hari serasa mondok tiga tahun. Setiap saat saya diarahkan untuk lebih mampu memahami hidup. Ilmunya mengalir deras bak sungai tanpa karang. Ia begitu rendah hati dan murah ilmu. Baginya tak ada rahasia yang harus ditutup-tutupi sepanjang menyangkut pengembangan ilmu. Saya sebenarnya baru kenal akrab di sini, tetapi rasanya saya sudah dianggap sebagai adik yang lama tak jumpa. Ia begitu sayang dan perhatian. Ah, saya jadi begitu tersanjung.

Meski ilmunya menjulang, Mas Mun'im tidak menunjukkan tinggi hati. Padahal kalau mau, saya pasti akan tunduk terkapar di hadapannya. Tetapi ia tidak, ia tetap menganggap bahwa saya punya bagian tertentu yang tidak dimilikinya. Ia lebih senang bertukar pikiran ketimbang mendekte. Ia lebih cenderung membimbing daripada menggurui. Ia memang ilmuwan sejati, ilmuwan yang ditunggu-tunggu kiprahnya untuk membangun negeri. Pantas, cak Nur yang dulu sekolahnya di Chicago mampu menjadi guru bangsa dan mas Mun'im adalah kandidat kuat sebagai penerusnya, insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction