Kamis, 10 Februari 2011

KAWASAN 'DUO MEWAH' PENYEBAB KEMATIAN

Di pagi yang masih hening, sebuah perkampungan kota Malang, saya tinggal bersama keluarga kecil saya, istri dan dua anak kami. Kembali ke Malang serasa mimpi. Betapa tidak, hampir tiga tahun saya meninggalkan kampung halaman demi menuntut ilmu di Semarang yang diteruskan dengan ‘bersemadi’ sejenak di Iowa, AS. Saat berjalan-jalan keliling kampung, terpampang di depan mata perubahan yang begitu cepat. Kawasan pertokoan dan perumahan bermunculan di mana-mana. Namun, yang membuat batin saya kecut adalah banyaknya kawasan pemukiman duo ‘mewah’: yang elit dan mepet sawah. Tanah-tanah  sawah yang subur kini berubah menjadi bangunan beton menjulang.

Di satu sisi, saya merasa senang karena jalan yang awalnya sepi dan gelap di malam hari kini ramai dan terang benderang. Saya jadi tidak terlalu gentar tatkala pulang kantor larut malam. Kekhawatiran untuk bertemu dengan pengganggu jalanan, seperti pemabuk dan perampok  kini sirna sudah. Dulu, saya selalu diingatkan oleh tetangga untuk waspada ketika melintasi jalanan panjang yang sepi karena banyak korban perampokan dan penganiayaan di wilayah rawan kejahatan itu. Saat ini, seiring dengan padatnya penduduk, secara tidak langsung, tingkat kejahatan di jalan setapak itu menurun dengan sendirinya.

Akan tetapi, di sisi lain, hati saya berontak. saya tidak lagi bisa menikmati hijaunya hamparan padi. Saya juga kesulitan melihat ramainya para petani memulai panen. Suara kodok dan binatang malam yang bersautan sekarang sulit ditemukan. Kemana mereka kini? Ah, mungkin mereka sudah pindah ke alam barzah.

Saya tidak tahu kebijakan tata kota di Malang. Kawasan pinggiran saat ini menjadi sasaran empuk para pengembang yang menjanjikan lokasi strategis dan pesona alam yang damai. Memang betul, bagi konsumen, tempat tinggal yang tidak jauh dari pusat perkantoran dan pendidikan menjadi pilihan yang menggiurkan meskipun harganya cukup tinggi. Saya pun demikian, mencari sebuah gubuk kecil di sela-sela padatnya kampung di daerah Karang Besuki. Hanya, saya sepertinya tidak bisa menerima kenyataan bahwa tanah sawah yang kini menjadi kawasan duo “mewah” itu menjadikan ladang bercocok tanam masyarakat kita berkurang secara signifikan. Saya tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya anak cucu kita ketika mereka kesulitan mendapatkan sesuap nasi karena sudah tidak ada lagi lahan subur penghasil kebutuhan pangan mereka. Akankah kita mendatangkan bahan makanan pokok dari negara lain? Ataukah kita akan menjadikan atap rumah sebagai lahan persawahan? Bagaimana jika akhirnya semua lahan subur berubah menjadi gedung bertingkat tanpa sisa?

Saya tahu, manusia akan terus berupaya mengatasi masalah pangan misalnya dengan bioteknologi yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman dengan hasil melimpah. Diakui bahwa rekayasa genetika kini menjadi tren dunia yang kian kelaparan. Sayangnya, resiko teknologi yang tak ramah lingkungan akan menciptakan beragam jenis penyakit baru yang ganas dan mematikan. Sudah saat ini kita pikirkan penertiban pembangunan kawasan “mewah”  agar kelangsungan hidup umat manusia, khususnya di Indonesia, dapat terjamin. Jika tidak, saya khawatir kematian akibat kelaparan akan menjadi kenyataan. Peperangan menjelma sebagai keniscayaan karena kemewahan fasilitas hidup tak dapat mengganjal perut yang keroncongan. Manusia akan rela menyerahkan nyawa demi berebut sesuap nasi. Ironis, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction