Senin, 21 Februari 2011

PESANTREN RAKYAT: TEROBOSAN UNTUK ALTERNATIF PEMBERDAYAAN UMAT

Hari ini, di pagi yang masih gelap aku sudah pergi ke lokasi bina desa di wilayah Sumber Pucung, Malang, sebuah kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Blitar. Aku sebenarnya ragu untuk datang ke tempat itu. Bagiku, membantu masyarakat apalagi terkenal miskin sama saja dengan membuang uang dengan percuma. Berkali-kali aku gagal dan kecewa dalam program pemberdayaan masyarakat yang ternyata dipenuhi dengan kebohongan. Aku pernah menitipkan puluhan ekor kambing tetapi ternyata para kambing itu raib tak berjejak. Begitu pula dengan modal usaha, dana bergulir milik umat yang ernah dipercayakan padaku habis digunakan untuk makan keseharian. Ah, rasanya aku tak percaya lagi dengan sikap memelas dan janji-janji kosong orang-orang tak mampu di setiap pencairan bantuan pinjaman tanpa bunga.

Tetapi, apa yang kulihat hari ini memunculkan harapan baru bagiku. Aku berharap apa yang kusaksikan langsung dari pagi hingga petang di kampung yang bersebelahan dengan sungai brantas itu benar-benar potret nyata warga yang punya semangat untuk maju. Dalam acara launching program pembibitan ternak dan tanaman organik, aku menemukan kesan bahwa seluruh komponen desa hingga kecamatan turut hadir dalam acara tersebut. Begitu pula antusias masyarakat untuk berbagi dan bergotong royong membangun desa begitu kentara. Bahkan, aku sempat terbelalak tatkala aku menyaksikan beberapa orang yang sebenarnya “kaya” namun cukup bangga hidup dalam rumah sederhananya berkenan mewakafkan satu hektar tanahnya untuk proyek pemberdayaan masyarakat di kampungnya. Mana mungkin bisa?

Setelah aku amati, ternyata sistem pemberdayaan di Sumber Pucung itu cukup unik. Beberapa pakar dan tokoh masyarakat berpadu dalam tim penggerak pembangunan. Sebagai contoh, ketika desa itu akan memprogramkan pemeliharaan kambing, para calon penggarap dikumpulkan terlebih dahulu dan diberi orientasi mental. Harapannya, kambing yang akan diserahkan akan dipelihara dengan baik dan tepat sasaran. Alhasil, hari ini ketika kambing-kambing itu diberikan, para pemelihara kambing yang ditunjukkan telah menyediakan kandang beserta pakannya dengan baik. Dari sini, aku mulai punya harapan bahwa masih ada sekelompok orang yang memang benar-benar ingin menjadi manusia yang jujur dan layak dipercaya.

Satu elemen yang tak ketinggalan dalam kesuksesan program ini adalah berdirinya sebuah pesantren berbasis masyarakat yang disebut dengan “Pesantren Rakyat”. Pesantren ini tidak mempunyai lokasi pondok seperti layaknya pesantren modern. Pesantren Rakyat ini diterjemahkan dengan kumpulan anggota masyarakat yang peduli terhadap pengembangan desanya dari beragam ilmu yang dimiliki. Sejumlah “ustad” bukanlah para kiyai yang pandai mengaji kitab kuning, namun merupakan tokoh-tokoh pemuda dengan beragam keahlian yang siap membantu masyarakat sesuai dengan bidang kelimuannya. Misalnya, ada “ustad” yang ahli di bidang budidaya ikan, maka anggota masyarakat muda yang menjadi “santri” harus mau “mengaji” kepada ustad tersebut. Begitu pula bila ada santri yang ingin mendalami pengetahuan tentang pembuatan tape ubi, mereka bisa mendatangi “kiyai” yang dipilih sebagai teladan pembuatan tape. Begitulah seterusnya sehingga seluruh elemen masyarakat dapat bekerja sama membagun desa demi terciptanya lingkungan yang sehat, maju, sejahtera lahir dan batin.

Nah, dari pengalaman hari ini, saya berkesimpulan, jika membantu masyarakat secara total, nampaknya perlu perencanaan yang matang dan kerjasama yang erat dengan berbagai pihak sehingga hasilnya nanti dapat dicapai secara memuaskan. Apabila tidak, bantuan keuangan sebesar apapun akan sirna begitu saja sesaat setelah para pemberi bantuan itu pergi. Ini malah menjadi sarana pelanggengan kemiskinan. Sayang sekali, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction