Rabu, 28 Desember 2011

UU NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

Sebagai salah satu warga muslim Indonesia, patutlah saya berbangga bahwa zakat telah diatur oleh pemerintah dengan lahirnya UU No 23 Tahun 2011. Ini untuk yang kedua kali setelah UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Aturan ini bukan untuk menyulitkan masyarakat yang ingin menunaikan zakat, namun justru diharapkan mampu menertibkan administrasi zakat ke depan. Banyaknya kasus penggelapan dana umat oleh oknum mengharuskan adanya aturan ketat tentang lembaga pengelola zakat. Salah satunya adalah bahwa lembaga amil zakat harus mempunyai landasan hukum berupa badan hukum yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Sanksi untuk amil yang tidak amanah juga kian tegas. Wah, zakat harus dikelola dengan serius nih agar dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat marginal....

Berikut ini isi lengkap UU No 23 Tahun 2011



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2011

TENTANG

PENGELOLAAN ZAKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu;
bahwa menunaikan zakat merupakan b. kewajiban bagi
umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;
c.bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang
bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat;
d.bahwa dalam rangka meningkatkan dayaguna dan
hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga
sesuai dengan syariat Islam;
e.bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
sehingga perlu diganti;
f.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pengelolaan Zakat;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN
ZAKAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pengelolaan zakat adalah kegiatan 1. perencanaan,
pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat.
2.Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh
seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam.
3.Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang
atau badan usahan di luar zakat untuk
kemaslahatan umum.
4.Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan
oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat
untuk kemaslahatan umum.
5.Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha
yang berkewajiban menunaikan zakat.
6.Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7.Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut
BAZNAS adalah lembaga yang melakukan
pengelolaan zakat secara nasional.
8.Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ
adalah Lembaga yang dibentuk masyarakat yang
memiliki tugas membantu pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
9.Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disebut UPZ
adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh
BAZNAS untuk membantu mengumpulkan zakat.
10.Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
hukum.
11.Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang
dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam
pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam.
Menteri adalah menteri yang 12. menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2
Pengelolaan zakat berasaskan:
a.syariat Islam;
b.amanah;
c.kemanfaatan;
d.keadilan;
e.kepastian hukum;
f.terintegrasi; dan
g.akuntabilitas.
Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a.meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat; dan
b.meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan.
Pasal 4
(1)Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2)Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b.uang dan surat berharga lainnya;
c.perniagaan;
d.pertanian, perkebunan dan kehutanan;
e.peternakan dan perikanan;
f.pertambangan;
g.perindustrian;
h.pendapatan dan jasa; dan
i.rikaz.
(3)
Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki
perseorangan atau badan usaha.
(4) Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan
zakat fitrah dilaksanakan sesuai dengan syariat
Islam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penghitungan zakat mal dan zakat fitrah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan diatur
dengan Peraturan Menteri.

BAB II
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat,
Pemerintah membentuk BAZNAS.
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di ibu kota negara.
(3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri.
Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang
melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
perencanaan pengumpulan, pendistribusian, a. dan
pendayagunaan zakat;
b.pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat;
c.pengendalian pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat;
d.pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat.
(2)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
BAZNAS dapat bekerjasama dengan pihak terkait
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya
secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2) Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas 8 (delapan) orang dari
unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur
pemerintah.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional,
dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat ditunjuk dari kementerian/instansi
yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang
wakil ketua.
Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima)
tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
Pasal 10
Anggota BAZNAS diangkat dan (1) diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri.
(2)Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat
oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(3)Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS dipilih oleh
anggota.
Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota
BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling
sedikit harus:
a.warga negara Indonesia;
b.beragama Islam;
c.bertakwa kepada Allah SWT;
d.berakhlak mulia;
e.berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
f.sehat jasmani dan rohani;
g.tidak menjadi anggota partai politik;
h.memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat;
dan
i.tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 12
Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:
a.meninggal dunia;
b.habis masa jabatan;
c.mengundurkan diri;
d.tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga)
bulan secara terus menerus; atau
e.tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu
oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata
kerja sekretariat BAZNAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi
Dan BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2) BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul
gubernur setelah mendapat pertimbangan
BAZNAS.
(3) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk atas usul
bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan
BAZNAS.
(4) Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak
mengusulkan pembentukan BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat
yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi
atau kabupaten/kota setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS.
(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota
melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS di
provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada
instansi pemerintah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta
dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan,
kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi (2) dan tata
kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18
(1)Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri
atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan apabila memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a.terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial;
b.berbentuk lembaga berbadan hukum;
c.mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d.memiliki pengawas syariat;
e.memiliki kemampuan teknis, administratif dan
keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f.bersifat nirlaba;
g.memiliki program untuk mendayagunakan
zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h.bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan
secara berkala.
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah
diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi,
mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan,
pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN,
PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pengumpulan
Pasal 21
Dalam rangka pengumpulan (1) zakat, muzaki
melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban
zakatnya.
(2)Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri
kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta
bantuan BAZNAS.
Pasal 22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS
atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
Pasal 23
(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran
zakat kepada setiap muzaki.
(2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan
kena pajak.
Pasal 24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh
BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS
kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal 25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai
syariat Islam.
Pasal 26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan
kewilayahan.
Bagian Ketiga
Pendayagunaan
Pasal 27
Zakat dapat didayagunakan untuk (1) usaha produktif
dalam rangka penanganan fakir miskin dan
peningkatan kualitas umat.
(2)Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah,
Dan Dana Sosial keagamaan Lainnya
Pasal 28
(1)Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga
dapat menerima infak, sedekah, dan dana social
keagamaan lainnya.
(2)Pendistribyusian dan pendayagunaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai
dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3)Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial
keagamaan lainnya harus dicatat dalam
pembeukuan tersendiri.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 29
(1)BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS
provinsi dan pemerintah daerah secara berkala.
(2)BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS
dan pemerintah daerah secara berkala.
(3)LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial
keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan
pemerintah daerah secara berkala.
(4)BAZNAS wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri
secara berkala.
Laporan neraca tahunan (5) BAZNAS diumumkan
melalui media cetak atau media elektronik.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan
BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ,
dan BAZNAS diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 30
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Hak Amil.
Pasal 31
(1)Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi
dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dibiayai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak
Amil.
(2)Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara.
Pasal 32
LAZ dapat menggunakan hak amil untuk membiayai
kegiatan operasional.
Pasal 33
(1)Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31
ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (3) dan pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
Menteri melaksanakan pembinaan (1) dan pengawasan
terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota, dan LAZ.
(2)Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS
provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai
dengan kewenangannya.
(3)Pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan
edukasi.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 35
(1)Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka:
a.meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ;
dan
b.memberikan saran untuk peningkatan kinerja
BAZNAS dan LAZ.
(3)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk :
a.akses terhadap informasi tentang pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ;
dan
b.penyampaian informasi apabila terjadi
penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.

BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23 ayat (1), Pasal 28
ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
LARANGAN
Pasal 37
Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki,
menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau
mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana
sosial keagamaan lainnya yang ada dalam
pengelolaannya.
Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku
amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian,
atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang
berwenang.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 39
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum
tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan
ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 38
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
Tindak pidana sebagaimana dimaksud (1) dalam Pasal
39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 merupakan pelanggaran.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Badan Amil Zakat Nasional yang (1) telah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan
tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan
Undang-Undang ini sampai terbentuknya BAZNAS
yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2)Badan Amil Zakat Daerah provinsi dan Badan Amil
Zakat Daerah kabupaten/kota yang telah ada
sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap
menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS
provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota berdasarkan
Undang-Undang ini sampai terbentuknya
kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang
ini.
(3)LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai
LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4)LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan
Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 46
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011
NOMOR 115
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGERA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd.
Wisnu Setiawan


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
I. Umum
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan
kewajiban bagi umat yang mampu sesuai dengan syariat Islam.
Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk
meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan
penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat
harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam,
amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentan Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hokum dalam
masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur
dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan,
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu
kota Negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.
BAZNAS merupakan lembaga yang pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan
tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat
membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib
mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat yang telah diaudit syariah dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan
syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas
dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan
kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif
dalam rangka peanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas
umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat
menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial
keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan
dilakukan sesuia dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi
dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.
Untuk melakukan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil.
Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota
dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak
Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas ”amanah” adalah pengelola
zakat harus dapat dipercaya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas ”kemamfaatan” adalah
pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi mustahik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas ”keadilan” adalah
pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan
secara adil.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas ”kepastian hukum” adalah
dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian
hukum bagi mustahik dan muzaki.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas ”terintegrasi” adalah
pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam
upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian
dan pendayagunaan zakat.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas ”akuntabilitas” adalah
pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkan dan
diakses oleh masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”rikaz” adalah harta
temuan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”badan usaha” adalah badan
usaha yang dimiliki umat Islam yang meliputi badan
usaha yang tidak berbadan hukum seperti firma dan
yang berbadan hukum seperti perseroan terbatas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain
kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau
lembaga luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota dapat menggunakan istilah
baitu mal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud ”tempat lainnya” antara lain masjid dan
majelis taklim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”usaha produktif adalah usaha
yang mampu meningkatkan pendapatan, taraf hidup dan
kesejahteraan.
Yang dimaksud dengan ”peningkatan kualitas umat”
adalah peningkatan sumber daya manusia.
Ayat (2)
Kebutuhan dasar mustahik meliputi kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5255


Untuk lebih jelasnya dalam format asli (PDF), silakan klik link ini....UU Zakat 2011
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction