Sabtu, 03 November 2012

Nasib Tragis Penghuni Kontrakan yang Meninggal Mendadak

Sebagai orang yang pernah ngontrak, aku bisa sangat paham seluk beluk seorang “kontraktor” alias penyewa rumah kontrakan. Tidak kurang dari 10 tahun aku menghuni rumah yang kubayar uang sewanya setiap tahun. Sebagai penyewa, statusku di masyarakat sering dianggap kurang jelas. Ketika ada kegiatan warga, aku sering ditinggalkan. Di saat aku ikut nimbrung, mereka juga agak acuh tak acuh. Kehadiranku sering dianggap angin lalu. Hal ini berubah 180 derajat ketika aku tidak lagi sebagai penyewa rumah di lingkungan itu.

Cerita yang akan kuungkap ini bukan pengalaman pribadiku, tetapi peristiwa penghuni kontrakan yang berada di kampungku sekarang, sebut saja Rio. Awal kisahnya, kemarin lusa pagi, aku diberi tahu oleh salah satu tetangga bahwa salah satu penghuni kontrakan di dekat sungai kampung meninggal dunia pada malam sebelumnya. Hampir semua tetangga tidak ada yang mengenal Rio. Maklum, selama ini Rio tergolong tertutup dan jarang mau bergaul dengan masyarakat. Keluarga Rio terdiri dari  Rio, istrinya dan ibunya yang sudah  tua. Pasangan muda itu setiap hari bekerja dari pagi hingga malam sedangkan sang ibu sering ditinggal sendirian di rumah. Karena sibuk bekerja, keduanya enggan bergabung dengan kegiatan warga, seperti arisan atau tahlilan. Ketika sang ibu meninggal dunia, Rio panik. Tak seorang pun tetangganya yang ia kenal dan ia bingung harus berbuat apa. Bila ia akan menbawa jenazah ibunya ke kampung halamannya, biaya tentunya sangat tinggi dan waktu tempuh yang sangat lama. Akhirnya, Rio memberanikan diri untuk meminta tolong tetangga sebelahnya untuk membantu menyelesaikan masalahnya.

Langkah pertama yang dilakukan Rio adalah menghubungi saudaranya yang tinggal di Jawa Barat. Lalu, ia mencoba menghubungi ketua RW untuk meminta ijin pemakaman sang ibu. Karena ia bukan penduduk setempat, sesuai dengn aturan kampung, ia ditolak oleh pak RW memakamkan di wilayah tersebut. Ia harus membawa pergi jenazah ibunya ke tempat asal atau ke kampung lain yang bisa menerimanya. Sedih nian nasibnya. Sudah dirundung musibah, diusir pula.

Untungnya, di kala duka semakin dalam, datanglah tokoh masyarakat yang meminta dispensasi kepada pak RW agar Rio diperkenankan memakamkan ibunya di kampung itu. Alasannya tentu atas nama kemanusiaan dan sebagai gantinya Rio harus memberikan biaya pemakaman sepantasnya. Setelah pak RW berdiskusi dengan beberapa tokoh lain, akhirnya diputuskan bahwa bila Rio tetap mau memakamkan ibunya di kampung ibu, ia harus membayar biaya Rp. 1,5 juta.  Biaya itu sebenarnya sebagai sebuah bentuk kompensasi bagi jasad yang dimakamkan di wilayah yang tidak mengakuinya sebagai warga penuh.Aku membayangkan, Rio bagai jatuh tertimpa tangga. Tapi, akhirnya Rio menyetujui untuk membayar biaya tersebut daripada harus mencari lokasi lain yang belum tentu ia peroleh dalam waktu dekat. Biaya jelas akan semakin membengkan bila ia harus membawa pulang jasad ibunya ke kampung halamannya yang sangat jauh.

Kesedihan Rio ternyata tidak hanya sampai di situ. Saat upacara pemakaman, tak banyak orang yang mau meluangkan waktu untuk sekedar menghormati pemberangkatan jenazah. Hanya sedikit orang yang melauangkan waktu bertakziyah. Bagi mereka, duka yang dirasakan Rio merupakan salah satu akibat dari sikapnya yang tidak mau bergaul dengan masyarakat sekitarnya.

Hari ini, dua hari setelah pemakaman itu, Rio dan istrinya telah mengosongkan kontrakannya. Entahlah, mungkin ia sedih atas nasibnya yang kurang beruntung atau ia ingin menenangkan diri sejenak di tempat barunya. Beberapa kawannya yang datang hendak menghiburnya terpaksa pulang dengan kecewa. Inilah sebuah kisah yang memilukan yang aku rekam hari ini. Semoga kejadian ini dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk dapat menempatkan diri secara tepat di tengah kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction